Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perilaku "Tak Bernilai" Dalam Lingkungan Sekolah

14 Oktober 2014   00:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:10 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan ini hanyalah merupakan goresan hati dari seorang pendidik atau guru seperti saya. Bila isi tulisan ini membantu insan pendidik atau peserta didik menjadi sadar syukurlah, marilah berbenah diri menuju masa depan yang gemilang namun bila tidak berkenan mohon dimaklumi. Tak pernah saya bermaksud untuk menyudutkan seseorang atau institusi pendidikan, institusi yang membesarkan saya dan telah  membentuk saya sehingga menjadi seperti orang seperti sekarang ini.

Tak dapat disangkal bahwa seringkali tanpa sadar para Guru dan para siswa/i di sekolah-sekolah kita setiap hari terus saja menghidupkan berbagai perilaku yang tak bernilai di sekolah. Salah satu hal yang sangat nampak ialah, diskusi-diskusi non formal dari para guru di ruang guru sering tidak menyinggung ranah pendidikan. Diketahui, semua guru yang mengajar di sekolah, berhak duduk atau tinggal di ruang guru dengan meja dan kursi yang disediakan oleh pihak sekolah setiap jam-jam sekolah. Ruang guru-guru itu sering menjadi ruang sidang atau musyawarah semua komponen pendidik bersama kepala sekolah setiap hari senin atau hari-hari lainnya.

Salah satu perilaku yang tak bernilai di sekolah ialah: berkelakar yang berlebihan atau bersenda gurau yang berlebihan, selalu membaca Koran, menonton TV berlebihan, berjualan pulsa atau barang-barang konsumtif lainnya, berbicara atau berdiskusi tentang hoby dan kegiatan-kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan. Tak jarang, ruang guru sering menjadi transaksi keuangan dengan para pedagang dari luar, misalnya dengan para pedagang pakaian, barang perlengkapan rumah tangga, dll. Alhasil, para guru dan tenaga kependidikan sering harus berurusan dengan kredit barang-barang konsumtif dengan para pedagang itu.

Herannya, para pedagang itu diijinkan masuk ke dalam ruang guru lalu menggelar dagangan mereka tanpa perduli dengan para guru atau pendidik yang sedang tekun mengerjakan tugas di ruang guru. Biasanya sebelum masuk, mereka meminta ijin secara lisan dengan salah satu Dewan guru atau petugas Satpam Sekolah. Pertanyaan kita, siapakah yang telah mengijinkan para pedagang dapat masuk ruang guru? Padahal ruang guru sebenarnya ruang ruang privasi dan rahasia pendidik karena itu merupakan inti atau jantung dari kehidupan Pendidikan di sekolah yang bersangkutan karena semua persoalan dan rencana atau tata kerja Sekolah disusun di ruangan itu.

Suatu ketika saya dapat menyaksikan kejadian di ruang guru sebagai berikut: ketika para pedagang itu masuk ruang guru, para guru atau para siswa/i tampak berkerumun di sekeliling para pedagang sambil menyaksikan demonstrasi alat-alat masak yang dibuat para pedagang untuk meyakinkan para konsumennya. Herannya, dalam jangka waktu lama, aktivitas para pedagang itu selalu luput dari perhatian para pendidik atau malahan didiamkan saja. Dalam sidang-sidang Dewan guru, para pedagang yang masuk ruang guru tak disinggung atau dibahas  Selain itu, aktivitas tidur-tiduran merupakan aktivitas tak bernilai di sekolah-sekolah.

Ruang guru sering menjadi ruang makan juga untuk para guru. Di sana ada persediaan air putih dan teh hangat untuk para guru, selain itu setiap hari sekitar jam 10, para guru berhak atas konsumsi berupa 2 potong kue untuk teman minum teh. Kadang-kadang para guru mendapatkan jatah sepiring bakso atau hidangan nasi campur. Ini bila dana-dana itu digunakan secara efektif oleh pengelola, seperti yang pernah Penulis alami di SMA Negeri 1 Atambua, di mana para pengelola sekolah itu cukup memperhatikan kebutuhan konsumtif berupa makanan ringan bahkan kadang-kadang bakso setiap hari bagi para pendidiknya.

Jenis hidangan wajib sebagai puncak dari sebuah pertemuan dinas biasanya berupa nasi bungkus dengan lauk ayam goreng atau ikan goreng. Dan apabila ada acara khusus di Sekolah, misalnya: Hari jadi Sekolah, hari pendidikan nasional atau bila terdapat sebuah pertemuan resmi dan pelepasan seorang guru untuk masa purna bakti, sering ada acara yang kemudian dilanjutkan dengan makan bersama.

Selain hal-hal tersebut di atas, ternyata keberadaan kantin sekolah dan atau kios sekolah yang mencolok dapat menjadi sarang aktivitas kurang bernilai di lingkungan sekolah. Sejauh pengamatan saya, kantin sekolah bertahun-tahun menjadi tempat mangkal para siswa/i juga para guru baik pada jam-jam sekolah maupun pada jam-jam istirahat. Beberapa siswa/i yang meminta ijin untuk ke wc pada jam sekolah ternyata memanfaatkannya untuk makan di kantin sekolah hingga jam istirahat berbunyi. Ini sungguh miris.

Lagi pula, para guru piket memiliki beban moral untuk membubarkan para siswa/i yang makan di kantin bila aktivitas di kantin itu dilakukan pada jam sekolah. Dengan semakin murah dan bermutunya makan yang disiapkan kantin sekolah, para siswa/i akan semakin membuang banyak waktu dan dana untuk ke kantin. Padahal, para siswa/i itu sudah kita anjurkan agar makan banyak-banyak ketika berada di rumah agar tiba di sekolah, mereka dapat dengan bebas mengikuti pelajaran tanpa kuatir godaan ke kantin.

Memang sering orang memberikan berbagai alasan ketika peristiwa-peristiwa yang menandakan melemahnya nilai-nilai pendidikan itu terjadi. Namun terhadap hal-hal semacam itu, sebagai guru, selalu pertimbangan nilai-nilai lebih diutamakan. Bahwa sekolah bukan sebuah pasar di mana pedagang boleh berjualan bebas. Bahwa sekolah bukan tempat orang melalukan berbagai pergaulan tanpa memperdulikan nilai-nilai ilmu dan pendidikan. Bahwa sekolah bukan tempat orang memamerkan kekayaan berupa kendaraan, pakaian, merk-merk HP atau selera manusia untuk makan di kantin.

Sekali lagi sekolah ialah tempat nilai-nilai kemanusiaan, iptek, moralitas, pendidikan dan kebudayaan disemaikan untuk nanti dapat bertumbuh subur menuju kualitas kehidupan manusia. Bila tulisan ini berkenan, marilah kita berbenah diri menuju masa depan pribadi yang bersangkutan dengan upaya mengejar kualitas diri di lingkungan sekolah sebagai institusi ilmu pengetahuan dan teknologi demi masa depan bangsa Indonesia

______________________

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun