Di sebuah gang kecil di sela-sela Depok, Sleman, Yogyakarta, aroma asam-manis menyambut setiap langkah yang mendekat ke sebuah rumah tua berpagar sederhana. Rumah itu bukan rumah biasa. Di sinilah sebuah revolusi kecil dalam dunia minuman sehat sedang berlangsung, di tempat yang akrab disebut Rumah Kombucha Sokondalem Mbah Cip.
Dari Mag ke Kombucha
Semua bermula dari keluhan mag yang berkepanjangan. Dityo Puspito Yuwono, seorang lulusan Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada, mulai bereksperimen dengan kombucha, minuman fermentasi teh yang dikenal akan manfaat probiotiknya. Tak disangka, eksperimen rumahan itu berujung pada perbaikan kondisi kesehatannya. Lebih dari sekadar pemulihan, minuman itu menjadi awal dari perjalanan usaha yang kini dikenal luas di komunitas pecinta fermentasi.
"Saya waktu itu sudah putus asa karena lambung saya nggak kunjung membaik," cerita Dityo, mengenang masa awal perjuangannya. "Lalu saya coba bikin kombucha sendiri. Hasilnya luar biasa, dan saya pikir, kenapa nggak saya bagikan juga ke orang lain?"
Nama yang Membumi, Rasa yang Mendunia
Sokondalem berasal dari bahasa Jawa yang berarti "dari rumah". Nama ini bukan sekadar simbol, tapi cerminan dari filosofi hidup Dityo dan istrinya, yang juga seorang pecinta biologi dan lingkungan. Bersama, mereka menyulap rumah mereka menjadi laboratorium kecil. Di sana penuh dengan toples kaca berisi kultur SCOBY (Symbiotic Culture of Bacteria and Yeast) yang aktif dan berkilau dalam cahaya pagi.
Di lantai dua rumah yang juga dikenal sebagai "Griyo Mbah Cip", Dityo mengembangkan berbagai varian rasa: dari klasik teh hitam hingga eksperimen lokal seperti kopi, salak, rosella, jahe, dan sereh. Semua bahan diambil dari petani lokal dan diolah secara alami tanpa tambahan pengawet.
Setiap batch kombucha difermentasi selama 7 hingga 14 hari, tergantung suhu dan kelembapan ruangan. Dirumah itu, juga terdapat Fermentasi yang cukup tua, yakni sekitar 2 tahunan, rasanya sangat halus dan berkarbonasi kuat menurut tim saya ketika meliput. Dityo menggunakan teh hitam organik, gula tebu lokal, dan SCOBY aktif yang dirawat secara ketat. Semua peralatan dibersihkan dengan air mendidih untuk menjaga kemurnian kultur.
"Kami percaya pada kesederhanaan dan keberlanjutan," ujar Dityo. "Kombucha kami bukan sekadar minuman. Ia membawa cerita, proses, dan nilai."
Pusat Edukasi dan Komunitas Fermentasi
Lebih dari sekadar memproduksi dan menjual kombucha, Sokondalem telah menjelma menjadi tempat belajar dan berbagi. Setiap bulan, rumah ini membuka kelas fermentasi untuk masyarakat umum, dari mahasiswa hingga ibu rumah tangga. Di ruang kecil beralas tikar biasa, peserta diajak mengenal lebih dekat proses fermentasi dan manfaatnya bagi tubuh.
Salah satu peserta workshop, Wulan (27), seorang barista kopi dari Bantul, mengaku terinspirasi untuk mencampurkan kombucha ke dalam menu cafenya. "Saya pikir ini bisa jadi peluang baru. Selain sehat, rasanya juga unik," katanya sambil meminum kombucha rasa pandan-jeruk.
Ramah, Terbuka, dan Tak Terduga
Meski usahanya mulai dikenal luas, Dityo tetap mempertahankan suasana akrab dan terbuka di rumah produksinya. Siapa pun boleh datang berkunjung, asal janjian lebih dulu, untuk mencicipi, belajar, atau sekadar mengobrol santai.