Mohon tunggu...
15ikomangadityapradnyadinata
15ikomangadityapradnyadinata Mohon Tunggu... Pelajar

Saya aditya dari Provinsi Bali

Selanjutnya

Tutup

Beauty

Fear of Missing Out (FOMO) Terhadap Korean Beauty Standard (KBS)

28 Februari 2025   11:58 Diperbarui: 28 Februari 2025   11:58 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Gambar : Idol K-POP (Sumber : Tempo.co)

          Media sosial saat ini membuat segala informasi menyebar dengan sangat cepat. Salah satu fenomena global yang populer adalah Korean Wave atau Hallyu, yang terdiri dari K-Pop, KDrama, fashion hingga standar kecantikan yang semakin menjadi panutan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia menjadi rumah bagi jutaan penggemar budaya Korea. Pada tahun 2019, Indonesia menempati peringkat ketiga setelah Thailand dan Korea Selatan yang paling banyak membicarakan artis KPop di platform Twitter. Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan (MCST), menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara dengan ketertarikan tinggi terhadap budaya Korea, yaitu mencapai 86,3%.

          Di tengah dominasi Korean Wave yang populer di media sosial, muncul sebuah fenomena Fear Of Missing Out (FOMO) yaitu rasa takut tertinggal dari tren yang sedang berkembang. Istilah FOMO ini diperkenalkan pertama kali oleh Patrick McGinnis pada tahun 2004. Secara lebih luas FOMO dapat di definisikan sebagai suatu kecemasan akan kehilangan kesempatan sosial, pengalaman bermakna, atau tren terbaru sehingga individu akan terus mengikuti sebuah perkembangan yang sedang populer (Przybylski et al., 2013). 

Gambar : BTS started a revolution in men's beauty (Sumber: https://sourcinglab.com ) 
Gambar : BTS started a revolution in men's beauty (Sumber: https://sourcinglab.com ) 

          FOMO terhadap Korean Beauty Standard (KBS), membuat seseorang untuk terus menyesuaikan diri dengan standar kecantikan Korea seperti yang telah diperlihatkan pada media ial yaitu berkulit putih bersih, wajah tirus, mata besar, dan tubuh langsing. Fenomena ini secara tidak langsung dapat mengubah gaya hidup masyarakat, terutama dalam hal perawatan diri. Banyak orang yang mulai menerapkan rutinitas skincare Korea dan mengubah pola makan demi mendapatkan tubuh ideal versi Korea. Selain itu, muncul pola konformitas sosial, di mana seseorang merasa perlu menyesuaikan diri dengan standar kecantikan tertentu agar diterima dalam pergaulan. Tentu hal ini juga berdampak pada psikologis seseorang. Banyak orang merasa kurang nyaman dan kurang percaya diri jika tidak bisa memenuhi standar kecantikan yang sedang viral di media sosial. Hal ini memicu kecemasan, stress, bahkan gangguan seperti body dysmorphic disorder (BDD), yaitu merasa tidak puas dengan penampilan sendiri. Industri kecantikan dan pariwisata medis juga mengalami perkembangan pesat. Tidak sedikit orang yang rela pergi ke Korea Selatan untuk melakukan operasi plastik demi mendapatkan tampilan yang lebih sesuai dengan standar kecantikan Korea. Hal ini menunjukkan bahwa budaya Korea yang populer dapat berdampak besar pada berbagai aspek kehidupan, termasuk kesehatan dan ekonomi.

Gambar : Infografis (Sumber : Canva.com)
Gambar : Infografis (Sumber : Canva.com)

          Namun, di tengah tren Korean Beauty Standard (KBS) ini merajalela sehingga menciptakan perubahan sosial, muncul kesadaran akan pentingnya keberagaman dalam standar kecantikan. Kampanye self love dan body positivy semakin banyak digaungkan untuk menekankan bahwa kecantikan tidak hanya berpatok pada satu standar tertentu. Setiap individu juga harus lebih bijak dalam menyikapi tren kecantikan dan tidak merasa terpaksa untuk mengikuti standar tertentu, karena pada dasarnya semua orang memiliki keunikan masing-masing, dan kecantikan tidak seharusnya ditentukan oleh tren yang sedang viral atau popular.

DAFTAR PUSTAKA

Himpunan Mahasiswa Geografi UGM. (2020, September 30). Fenomena Korean Wave di Indonesia. EGSA UGM.               https://egsa.geo.ugm.ac.id/2020/09/30/fenomena-korean-wave-di-indonesia/ 

Latief, R. (2024). Analisis dampak perilaku fear of missing out (FoMO) di kalangan pengguna media sosial. AL-IRSYAD AL-NAFS: JURNAL BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM, 11(1), 31-46.

 Syafaah, N., & Santoso, I. H. (2022). Fear of Missing Out dan Korean Wave: Implikasinya pada Keputusan Pembelian Kosmetik asal Korea. INOBIS: Jurnal Inovasi Bisnis Dan Manajemen Indonesia, 5(3), 405-414. 

Rifi, R. M., & Safitri, D. (2023). FoMO (Fear of Missing Out) pada Mahasiswa Penggemar Korea. Edukasi IPS, 7(1), 27-35. MSIG Life.   (2023, 10 Januari). Pahami Fenomena FOMO. MSIG Life.                                               https://www.msiglife.co.id/article/kesehatan/4262106/pahami-fenomena-fomo  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun