Topeng di Balik Senyum
Mentari sore menyapa lembut desa kecil bernama Al-Mawaddah. Dari kejauhan, tampak Masjid Jami' berdiri tenang. Jamaah mulai berdatangan untuk shalat Magrib. Di antara mereka, ada seorang pemuda bernama Farid. Dari luar, ia tampak alim: sorban putih melilit, jubah rapi, dan senyum ramah yang selalu ia tebarkan. Orang-orang memujinya sebagai teladan.
Namun, di balik itu, Farid menyimpan rahasia. Ia rajin datang ke masjid bukan semata karena Allah, melainkan karena ingin dipuji. Saat jamaah memandangnya dengan kagum, hatinya terasa puas. Ia sering berkata manis, tetapi tindakannya berbeda.
---
Di warung kopi malam itu, ia duduk bersama sahabat lamanya, Yusuf.
"Rid, kau hebat sekali. Setiap hari aku lihat kau di masjid. Pasti hatimu sangat tenang," kata Yusuf sambil menyeruput kopi.
Farid tersenyum, lalu menjawab, "Tentu saja. Shalat itu kan tiang agama. Tanpa shalat, hidup kita hancur."
Namun, Yusuf diam-diam tahu, Farid sering berbohong. Ia pernah melihat Farid bersumpah palsu dalam urusan dagang. Hatinya bimbang, tetapi ia tak ingin langsung menghakimi.
---
Beberapa hari kemudian, Yusuf memberanikan diri mengajak Farid ke majelis taklim.
"Rid, malam Jumat nanti ada kajian tentang penyakit hati. Ustaz akan membahas nifak dan keras hati. Ayo kita ikut."