Mohon tunggu...
12013Y
12013Y Mohon Tunggu... Seniman - Fresh Graduate

Real person trying to be more real by seeing reality as real as possible.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hakim

24 September 2018   14:07 Diperbarui: 24 September 2018   15:25 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku duduk melihat, mendengar, memerhatikan, menilai, apa saja yang mereka berikan, sampaikan, dan utarakan. Itulah tugasku seorang hakim senior berusia 55 tahun, entah sudah berapa ratus kasus yang aku putuskan, sudah berapa ratus orang kuhukum, sudah berapa ratus orang kubebaskan, dan yang paling ingin kutahu, sudah berapa kasus aku putuskan dengan benar-benar benar. 

Bagi lelaki tua ini hakim adalah pekerjaan paling terhormat, bahkan mereka yang datang ke Pengadilan memanggilku dengan sebutan 'Yang Mulia'. Ucapanku dihormati dan dilaksanakan bak titah sang raja, pakaian kebesaranku membuatku makin berwibawa, dan perilakuku selalu diawasi dan dijaga.

Hakim adalah profesi yang dikelilingi oleh banyak rahmat dan malaikat, sekaligus dikelilingi oleh banyak jebakan dan setan. Apa yang bisa aku perbuat? diri ini bukanlah orang yang mampu melihat isi hati seseorang, jujur atau bohong, benar atau salah, baik atau jahat. Yang bisa kau lakukan adalah menilai apapun yang mereka sampaikan, dan meminta petunjuk Tuhan, setidaknya itulah yang selama ini aku lakukan, selalu berdoa setiap memasuki ruang sidang. Memohon agar Ia menguasai tubuh, jiwa, dan akal, agar semua yang terjadi di ruang sidang adalah kehendak-Nya. Tidak akan ada satu mahlukpun yang meragukan kebijaksanaan, keadilan, dan pengetahuan Tuhan.

Aku memandangi wanita tua di hadapanku, tangan gemetar memegang palu kecil ini, bukan karena tidak kuat, namun karena tanggung jawab yang berat. Ketika kuketuk palu ini, maka apa yang kuputuskan memiliki kekuatan untuk dilaksanakan. Dan jujur saja, aku tidak yakin dengan hasil putusanku kali ini, lagi.

Wanita renta itu dituduh mencuri uang majikannya, nenek yang buta hukum dan juga buta huruf ini dibantu oleh seorang advokat lulusan universitas ternama di negeri ini. Sayangnya kualitas sang pengacara tak sebaik almamaternya, mungkin karena itulah si nenek memakai jasanya, murah. Di pihak lain sang majikan menggunakan kekayaannya untuk menyewa jasa seorang advokat yang sudah tak asing di mata dan telinga. Licik, hanya itu kata yang akan kukatakan jika ada yang bertanya pendapatku tentangnya.

Semua argumentasi, bukti, dan saksi benar-benar membuat nenek tua terpojok. Aku? jujur saja naluriku menghendaki si nenek menikmati masa tuanya di dunia yang bebas dan luas bersama keluarga dibandingkan meringkuk di penjara. Namun lagi-lagi aku memutuskan berdasar apa yang kuketahui di persidangan. 

Keesokan paginya, aku sedang duduk di teras rumah menikmati kopi dan menggenggam koran pagi. Kata-kata si nenek masih terngiang di telingaku, saat ia kemarin memberikan pernyataan terakhir:

"Anakku, yang mulia, hakim yang adil dan bijaksana, ibu ini hanyalah wanita tua renta yang dituduh mengambil uang tak seberapa dari seorang saudagar kaya. Semua orang di sini tahu tidak ada maling yang mengaku maling, dan semua orang di sini pura-pura tidak tahu bahwa tidak mungkin juga seorang yang bukan maling mengaku maling. Ibu akan tetap menyampaikan bahwa ibu bukan pencuri, ibu masih sangat takut pada Tuhan, ibu masih memiliki agama, agama yang bahkan menghendaki pencuri dipotong tangannya. Ibu sudah putus asa dengan keadilan di dunia, putuskanlah menurut apa yang Nak hakim anggap benar, dan biarkan Tuhan menunjukkan kita semua sebuah kebenaran."

Kucoba untuk memahami maksud ucapan si nenek kemarin, yang dapat kusimpulkan hanyalah jelas ia telah menghinaku, seorang hakim yang agung, di pengadilan, tempat yang agung. 

Tidak butuh waktu lama, HP-ku berbunyi, aku terdiam mendengarkan seseorang berbicara di ujung sana, kata-katanya membuatku lemas seketika, aku mendapat kabar bahwa nenek tua itu meninggal dunia semalam di penjara dalam keadaan bersujud. 

Luar biasa!, doa si nenek terkabul. Tuhan menunjukkan kepadaku sebuah kebenaran, Ia tidak rela hamba-Nya yang didzalimi menghabiskan waktu di tempat yang hina, bahkan untuk semalam saja.

Kulangkahkan kaki menuju tempat wudhu, aku harus menghadap Tuhan, sekarang!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun