Bagi mahasiswa tingkat akhir, kata "skripsi" sering kali terdengar lebih menakutkan dibandingkan ujian semester. Bukannya menjadi karya ilmiah yang membanggakan, skripsi justru kerap berubah menjadi sumber stres yang luar biasa. Tidak sedikit mahasiswa merasa terjebak, kehilangan motivasi, bahkan sampai mengalami gangguan psikologis. Pertanyaannya, apakah skripsi memang masih relevan di era pendidikan modern saat ini?
Sejumlah penelitian memperkuat gambaran betapa skripsi menjadi momok. Survei di beberapa perguruan tinggi menunjukkan bahwa lebih dari 70% mahasiswa tingkat akhir mengalami stres berat saat mengerjakan skripsi. Gejalanya beragam, mulai dari mudah lelah, cemas ketika melihat teman sudah lulus, hingga jantung berdebar setiap kali harus bertemu dosen pembimbing. Tekanan pun bertambah dari luar kampus: keluarga yang berharap cepat lulus, biaya kuliah yang terus membengkak, serta rasa takut pada masa depan setelah wisuda.
Tidak bisa dipungkiri, skripsi sebenarnya punya tujuan mulia. Ia dirancang untuk melatih mahasiswa berpikir kritis, menulis dengan kaidah ilmiah, sekaligus menyelesaikan masalah secara sistematis. Namun, realita di lapangan sering kali berbeda. Proses bimbingan yang berbelit, birokrasi kampus yang panjang, hingga dosen pembimbing yang terlalu sibuk membuat skripsi justru menjadi beban administratif yang melelahkan.
Kabar baiknya, pemerintah sudah mulai melirik solusi. Melalui Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, mahasiswa S1 dan D4 tidak lagi diwajibkan menjadikan skripsi sebagai satu-satunya bentuk tugas akhir. Beberapa kampus, seperti IPB University, bahkan sudah lebih dulu memberi pilihan lain sejak 2019. Mahasiswa bisa menyelesaikan studi dengan membuat proyek bisnis, portofolio kerja, artikel ilmiah, atau program pengabdian masyarakat. Pilihan ini jauh lebih fleksibel, sesuai dengan kebutuhan zaman, dan tentunya relevan dengan dunia kerja.
Pertanyaannya, siapkah kampus lain mengikuti langkah serupa? Perubahan ini tentu menuntut penyesuaian besar. Dosen harus mau membuka diri terhadap bentuk bimbingan baru. Kampus harus menyiapkan standar penilaian yang adil untuk setiap model tugas akhir. Dan mahasiswa pun dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam memilih jalur yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Namun, inti masalah bukan hanya soal bentuk tugas akhir, melainkan juga cara pandang. Banyak mahasiswa memandang skripsi sekadar "penghalang kelulusan". Jika mindset ini tidak berubah, bentuk tugas akhir apa pun akan tetap terasa berat. Sebaliknya, bila mahasiswa melihatnya sebagai kesempatan belajar dan mengasah keterampilan, maka proses tersebut akan lebih bermakna.
Skripsi atau stres? Pada akhirnya, jawabannya tergantung pada bagaimana sistem pendidikan tinggi kita dikelola. Jika kampus mampu membenahi bimbingan, memberi pilihan fleksibel, dan mengurangi birokrasi, maka skripsi bisa kembali menjadi pengalaman akademik yang berharga. Tetapi jika tidak ada perubahan, skripsi akan terus menjadi dilema klasik mahasiswa Indonesia.
Pendidikan tinggi seharusnya melahirkan pengalaman yang mendewasakan, bukan sekadar menambah tekanan mental. Dengan regulasi baru dan semangat reformasi, sudah waktunya kita menjadikan tugas akhir --- apa pun bentuknya --- sebagai pintu menuju masa depan yang lebih cerah, bukan sekadar jalan terjal penuh stres.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI