Mohon tunggu...
Mutmainnah
Mutmainnah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mutmainnah Ramli

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kampung Adat Cireundeu, Kepercayaan dan Ketahanan Hidup Masyarakat

7 Maret 2024   08:05 Diperbarui: 7 Maret 2024   08:09 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
salah satu rumah yang ada di Kampung Adat Cireundeu (Dokpri)

Bagi readers yang ingin mengisi liburan sambil mendalami budaya, wisata ke Kampung Adat Cireundeu bisa menjadi pilihan.

Ditengah hiruk pikuk kota Bandung ternyata masih ada kampung yang memegang teguh tradisi dan adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur mereka yaitu Kampung Adat Cireundeu.

Kampung Adat Cireundeu ada sejak abad 17 di Bandung. Kampung Adat Cireundeu ini terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, jaraknya 6 km dari pusat kota.

Cireundeu berasal dari kata ci dan reundeu. Ci sendiri artinya air sedangkan reundeu berasal dari kata pohon reundeu karena sebelumnya di kampung ini  banyak sekali populasi pohon reundeu.

Masyarakat Kampung Adat Cireundeu sebagian besar memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan sampai sekarang. Menurut masyarakat setempat, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut oleh orang indonesia sebelum datangnya agama Hindu dan Islam yang dulu disebut dengan sunda land.

Selain kepercayaannya, masyarakat Kampung Adat Cireundeu juga memiki ciri khas dalam berpakaian yaitu pria memakai pangsi (pakaian berwarna hitam) dan iket (lilitan kepala) sedangkan wanita memakai toro (baju) dan sinjang (kain adat).

Gimana readers, udah tau sedikit tentang Kampung Adat Cireundeu? Mau tau lebih banyak lagi? Yuk kita bahas lagi. Setelah membahas sejarah, kepercayaan, pakaian, yuk kita lanjut bahas kearifan lokal masyarakat setempat yaitu cara bertahan hidup mereka yang berbeda dari orang-orang kebanyakan.

Sejak Tahun 1918 Kampung Adat Cireundeu memiliki ciri khas tersendiri dimana pada masa itu merupakan masa penjajahan Pemerintahan Belanda, kelaparan terjadi dimana-mana karena Belanda menguasai semua bahan pangan.

Nah dari situlah muncul ide dari Sesepuh (Tetua Adat) untuk mengganti bahan pokok beras menjadi singkong sebagai bentuk protes terhadap Pemerintahan Belanda.

Sejak saat itu, masyarakat setempat di pamalikan beras alasannya karena sudah bersumpah dari nenek moyang mereka. Masyarakat setempat tidak langsung memakan singkong seperti bentuknya melainkan, mereka mengolahnya menjadi rasi (beras singkong) atau yang dulunya dikenal dengan nama sangu sampeuk.

Masyarakat setempat mengolahnya dengan cara 7D (Dikupas, Dicuci, Diparut, Dijemur, Disaring, Diayak, dan Disajikan). Proses dan alat pembuatannya pun masih menggunakan alat-alat jaman dulu seperti, asepan, dandang, kuda-kuda alat parut, jublek, dan masih banyak lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun