Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Shutdown Jakarta, Jokowi Setara Soekarno dan Soeharto?

27 Januari 2020   10:09 Diperbarui: 28 Januari 2020   04:55 1753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi meninjau lokasi Ibu Kota baru. Foto: KOMPAS.com/Antara

Pemindahan Ibu Kota dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, semakin nyata. Setelah kucuran dana, Peraturan Presiden sebagai landasan hukum pembentukan Badan Otoritas Ibu Kota Baru, konon akan segera diterbitkan.

Setiap pemimpin selalu ingin menciptakan memorable atau monumen sebagai pengingat dirinya di masa mendatang. Hal ini juga menjadi jawaban mengapa pergantian kepemimpinan (negara) senantiasa diikuti dengan perubahan skala prioritas yang disesuaikan dengan kebijakan pemimpin baru.

Sepanjang keinginan demikian itu selaras dengan tujuan berbangsa dan bernegara, tentu tidaklah salah. Kemerdekaan dan pembentukan negara (Indonesia) hanyalah alat politik- gerbang, untuk mencapai tujuan hakiki yakni terciptanya tatanan masyarakat yang adil dan makmur.  

Terlepas kontroversi selama kepemimpinannya, sulit untuk tidak mengakui jasa dan kebesaran Soekarno. Bukan hanya sebagai Presiden RI pertama, namun juga Proklamator yang meletakkan pondasi bangunan bernama Indonesia.  Selama bangunan itu masih ada, nama Bung Karno tidak akan hilang.

Demikian juga Soeharto yang menggantikan tampuk kekuasaannya. Meski akan dikenang dalam dua sisi berbeda, yakni sebagai Bapak Pembangunan sekaligus pemimpin otoriter, Pak Harto telah berhasil meletakkan namanya dalam keabadian. Berbicara tentang Indonesia hingga 100 tahun mendatang, mungkin akan kurang afdol tanpa menyebut Soeharto.

Tanpa mengurangi kebesaran dan jasa-jasanya, hal demikian tidak berlaku untuk BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Seokarnoputri, bahkan Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan mereka tanpa prestasi. 

Habibie mampu mengembalikan tananan sosial dan politik yang pada saat transfer kekuasaan terjadi (1998), cukup mengancam keutuhan, bahkan eksistensi, Indonesia.

Gus Dur berhasil membentuk civil society yang sebenarnya dan melepas sekat-sekat beraroma primordialisme sehingga relasi sosial antar warga bangsa menjadi cair. Tidak ada lagi sekat bagi kelompok minoritas untuk menduduki jabatan apa pun.

Meski hal itu, akhir-akhir ini oleh sebagian kalangan dianggap kebablasan ketika kelompok minoritas ingin menguasai mayoritas dalam segala hal, utamanya ekonomi dan politik, dengan memanfaatkan isu-isu toleransi dan kesetaraan. Sesuatu yang bahkan di Eropa dan Amerika Serikat sebagai mbahnya demokrasi, masih "tabu".

Siapa yang meragukan jejak Megawati  melepaskan bangsa ini dari ketergantungan dengan International Monetary Fund (IMF)? Siapa yang akan membantah keputusan berani Megawati ketika meneken UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar lahirnya KPK?

Juga dengan SBY. Selama 10 tahun pemerintahannya, SBY berhasil mengangkat pamor TNI yang sempat terpuruk  di awal reformasi. SBY berhasil mengubah wajah "sangar" prajurit dalam berbagai kebijakannya. Bahkan SBY selalu menekankan kedamaian, stabilitas, berwajah sipil. Nyaris tidak ada pengerahan aparat militer maupun semi militer untuk menghadapi  rakyat sipil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun