Mohon tunggu...
Yani Nur Syamsu
Yani Nur Syamsu Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Biografometrik Nusantara

Main ketoprak adalah salah satu cita-cita saya yang belum kesampaian

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Keganasan" KPK dan Ketiadaan Kesempatan yang Patut Disyukuri

17 September 2017   11:16 Diperbarui: 17 September 2017   11:20 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota KPK sedang "membawa" beberapa orang penting Banjarmasin (Sumber Liputan 6.Com)

"Diadili" oleh komisi III DPR RI selama 2 hari berturut dan disindir sebagai "biang gaduh" oleh Jaksa Agung, agaknya telah membuat KPK "terluka", dan bagaikan Banteng ketaton, lembaga anti rasuah "andalan rakyat" itupun mengamuk. Nyaris tanpa jeda si Banteng mengobrak abrik kenyamanan para pejabat daerah tingkat dua di tiga pulau utama negeri ini. Rabu (13/9/17), KPK menangkap delapan orang petinggi Kabupaten termasuk Bupati Batubara, Sumatera utara, OK Arya Zulkarnain.

Sehari berikutnya (14/9/17), giliran lima orang penting Banjarmasin digasak KPK dalam sebuah operasi tangkap tangan, salah satunya adalah Ketua DPRD Banjarmasin Iwan Rismali (Partai Golkar). Belum juga beres memeriksa para terduga koruptor itu, Sabtu (16/9/17) tim KPK kembali "menggaduhkan" ketenangan kota Batu, Jawa timur. Di kota Apel itu KPK menciduk lima orang penggede, salah satunya adalah sang wali kota, Edy Rumpoko, yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.  (Kompas,16/9/17, Liputan 6.com, 16/9/17).

Sebagai rakyat, mungkin karena sudah muak, jengkel dan geregeten, sebagian (besar) kita akan segera mencemooh, mencaci dan menyukurin para "korban keganasan" KPK itu. Tetapi menurut hemat saya, sikap terbaik dalam merespon semua kejadian tersebut adalah segera kembali ke kedalaman dan kesejatian diri masing-masing, kemudian mengucap syukur bahwa kita tidak diberi anugerah jabatan seperti para beliau itu. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa apabila berada di posisi "para korban KPK" itu, kita tidak melakukan korupsi.

Data dan fakta mewartakan bahwa hampir semua narapidana korupsi, dulunya adalah orang orang muda idealis, aktivis, organisatoris yang smart dan cerdas sehingga tidak ada yang membayangkan bahwa kelak mereka akan melakukan aksi tak terpuji. Disamping itu juga harus dipahami bahwa untuk mendapatkan kedudukan itu mereka telah berjuang mati matian, mengoptimalkan segala potensi diri, kemampuan dan sumber daya yang dimiliki.

Sebagai warga Negara Republik Indonesia, mengincar kemudian berjuang untuk menjadi pejabat publik, baik itu di ranah eksekutif, legislative maupun yudikatif adalah sesuatu yang wajar, syah dan merupakan hak semua warga. Namun karena jumlah posisi yang tersedia jauh lebih sedikit dari pada jumlah para peminat, maka hanya sebagian sangat kecil saja yang sukses dan berhasil.

Seorang anggota DPRD tingkat dua di propinsi Jawa Timur, menginformasikan kepada saya  bahwa "investasi" paling sedikit yang telah dikeluarkan oleh dia dan  teman temannya untuk proses pencalonan, kampanye, pemilihan dan dilantik sebagai anggota dewan adalah 1 milyar Rupiah. Kalau untuk satu orang anggota DPRD II "saja" investasi minimal segitu, kita bisa memperkirakan berapa konversinya untuk kedudukan yang lebih tinggi dan lebih "wah".

Setelah menjadi anggota dewan, undangan hajatan dari "konstituen"  yang diterima (pada musim "nikah") sehari bisa sampai  15 undangan (silakan dihitung sendiri berapa yang harus di"anggar"kan jika untuk satu undangan mereka mesti menyiapkan amplop yang berisi minimal Rp.100.000,-). Belum proposal  yang selalu berdatangan dibawa oleh pihak pihak yang merasa telah berjasa atas keterpilihannya sebagai anggota dewan. Padahal gaji anggota DPRD II, termasuk tunjangan, tidak lebih dari 12 juta perbulan (sebelum pp 18/2017 yang "melipatgandakan" gaji anggota Dewan diberlakukan).

Sementara itu di desa kelahiran penulis di wilayah kabupaten Banyuwangi, seorang pemuda sarjana S-2  berhasrat menjadi anggota DPRD II. Karena modal yang dimiliki sangat minim maka dia tidak memiliki tim sukses, dia berkampanye secara mandiri, "door to door", termasuk hadir dalam acara yasinan, tahlilan dan majlis taklim. Dalam acara acara itu tidak jarang  jamaah nyeletuk,"Rokoknya manna ?! Mau nyalon kok cuma modal abab". Karena keterbatasan modal (finansial), meskipun bisa jadi modal sosialnya sangat tebal, di pilkada Banyuwangi 2015 itu, sang master gagal menjadi anggota Dewan.

Begitulah, untuk menjadi anggota DPRD II dibutuhkan modal yang tidak sedikit, begitu juga setelah menjadi anggota dewan, beaya operasional yang harus "dianggarkan" juga jauh melampau income syah yang diterima. Pada saat yang sama, karena jabatan dan kedudukannya, banyak sekali "peluang" yang tersedia bagi para anggota dewan itu untuk sedikit "menyeimbangkan" antara pemasukan dan beaya operasional. Dan realita menunjukkan bahwa cukup banyak anggota dewan yang "tergelincir" dalam artian telah memanfaatkan "peluang" itu, meskipun yang bersangkutan tahu itu adalah tindakan melanggar undang undang.

Formula kepolisian  konvensional  menyatakan bahwa kejahatan terjadi akibat bertemunya niat dan kesempatan ( K= N + K). Salah satu tugas pokok kepolisian adalah mengupayakan tidak adanya kesempatan berbuat jahat baik diruang privat dan terlebih di ruang publik, sehingga  seseorang yang berniat jahat  tidak mempunyai peluang untuk melakukan aksinya . Namun, khusus untuk terjadinya kejahatan korupsi sepertinya hanya dibutuhkan kesempatan. Peluang itulah yang bakal merangsang timbulnya niat. Kita menyimak betapa banyak individu individu yang (tadinya) berintegritas terpuji, tetapi begitu terpapar peluang korupsi akhirnya tergelincir.

Jadi terus berulangnya pencokokan dan penggelandangan pejabat publik oleh KPK, mengkonfirmasi adagium yang selama ini belum menyeruak ke permukaan, bahwa kendali paling paten untuk tidak korupsi adalah ketiadaan kesempatan dan peluang. Untuk para pejabat dan aparatnya, pemerintah Republik Indonesia berkwajiban menciptakan system dan perundang-undangan yang bisa menihilkan atau paling tidak menekan serendah mungkin eksistensi "peluang dan kesempatan" ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun