Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pilgub DKI 2017 dan Luruhnya Politik Identitas

11 Maret 2017   21:06 Diperbarui: 12 Maret 2017   20:00 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilgub DKI 2017 sekan menjadi titik awal luruhnya politik identitas di Indonesia. Betapa kita saksikan, isu-isu sektarian yang mewakili identitas primordial kandidat tertentu, begitu menyeruak ke permukaan publik. Pemetaan kelompok identitas berdasarkan suku, agama dan etnis, pun menjadi taksasi kemenangan politik yang kadung ditakar berbagai kalangan, dari pengamat hingga diskusi masyarakat di warung kopi.

Klimaksnya, dikotomi Islam non Islam atau pribumi non pribumi, menjadi titik sumbu gesekan yang begitu kuat menggahar publik untuk melihat kandidat Gubernur DKI tertentu berdasarkan identitas primordialnya. Dalam soal ini, hantaman politik dikotomi begitu kuat menyasar ke figur Ahok-Djarot; khususnya Ahok yang acap dikanalisasi sebagai etnis Cina dan non muslim.

Keberterimaan kelompok masyarakat tertentu terhadap figur Ahok, masih ditakar dalam soal etnis dan agamnya. Kendatipun cara pandang demikian, patut ditolak dalam pendekatan demokrasi dan inklusivitas politik.

Namun patut dimaklumi juga, bahwa demokrasi, acap tumbuh dari partikular-partikular sosial yang bergerak secara alamiah mencari bentuk komunal demokrasi. Asalkan saja, identitas primordial yang merepresentasikan heterogenitas masyarakat Indonesia, dirawat dengan baik, agar tumbuh dan bersenyawa dengan paradigma Bhineka Tunggal Ika sebagai cermin besar tempat seluruh kelompok identitas berkaca diri mengenali identitas keindonesiaannya.

Meskipun aksi damai 411, 212 dan 112  adalah suatu aspirasi tuntutan penegakan hukum, namun tak bisa juga ditampik, bahwa aksi damai tersebut bebas dari efek getar politik dikotomi atau politik identitas. Bahkan, persepsi yang timbul dari rangkaian aksi damai dimaksud, secara kasat mata merupakan penjara sosial bagi Ahok, berikut identitas primordialnya.

Kendatipun politik identitas merupakan suatu keniscayaan alamiah dan kodrat demokrasi, namun seiring kedewasaan sosial yang membuahkan inklusivitas politik, maka politik identitas yang sesekali beriak itu pun perlahan-lahan menguap dan pupus. Hal itu terlihat jelas pada hasil Pilgub DKI putaran pertama.   

Keunggulan Ahok-Jarot di Pilgub DKI putaran pertama dengan perolehan suara 42,99 %, adalah gejala yang mengkonfirmasi kita, bahwa politik identitas yang acap terlihat ekstrem kian luruh. Keberterimaan masyarakat terhadap perbedaan identitas primordial dalam ranah politik praktis semakin baik. Dus, kita patut melihat surplus demokrasi ini sebagai berkah bagi keragaman Indonesia.

Tentu kita berharap, berkah demokrasi dari momentum Pilgub DKI 2017 ini awet dan berlangsung lama. Merawat kebhinekaan dengan menghormati simbol-simbol identitas primordial kelompok masyarakat tertentu, adalah prasyarat mutlak yang perlu dimiliki masyarakat dan elit politik. Harapannya, demokrasi dan inklusivitas politik ini tetap terjaga dan awet menuju Indonesia berkerukunan. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun