Mohon tunggu...
Ima Hardiman
Ima Hardiman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

perempuan biasa. penikmat perjalanan dan pencinta keindahan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kampung Takpala, Alor: Hidup adalah Perayaan

27 November 2011   13:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:08 1771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kampung Takpala, dimana tuh? Bahkan saya yang sudah pernah menginjak Pulau Alor, di mana kampung ini berada, belum sempat mengunjunginya. Nah suatu hari sewaktu mengunjungi perpustakaan UI Depok, secara tak sengaja di sudut gedung saya melihat pameran bertajuk ALOR: LIVING CELEBRATION (Perayaan Hidup). Pameran ini digelar sebagai kegiatan tahunan Tim Ekskursi UI, terdiri atas kegiatan pameran foto, preview film dan diskusi buku, berlangsung di dua tempat: Perpustakaan UI tanggal 7-11 November, dan di Gedung Kemang 89 tanggal 3-4 Desember 2011 mendatang. Belajar di dalam ruang kuliah jelas penting, tapi belajar dalam kehidupan yang sesungguhnya jauh lebih penting. Inilah yang menjadi acuan mahasiswa Arsitektur Universitas Indonesia (UI) melakukan kegiatan luar kampus yang populer dengan nama Ekskursi.  Tujuan ekskursi adalah mempelajari arsitektur/ruang gerak hasil karya masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan fisik lingkungan dari daerah tersebut. Melalui ekskursi, diharapkan tumbuh kecintaan dan kebanggaan terhadap kekayaaan identitas nusantara, disamping untuk pengembangan kemampuan mahasiswa. Meski tidak memiliki bobot SKS, kegiatan 'ekskul' ini selalu ditunggu para mahasiswa. Tahun sebelumnya, tim Ekskursi UI telah menjelajah Nias, Toraja, tahun 2010 ke Banjarmasin (Kalimatan Selatan), dan tahun 2011 Tim Ekskursi memilih Kampung Takpala yang terletak di Kepulauan Alor, Nusa Tenggara Timur. Maka di bulan ramadhan 2011 lalu, puluhan mahasiswa Arsitektur UI menempuh perjalanan panjang penuh risiko ala backpacker dari Jakarta- Pulau Alor. Diawali menumpang bus antarkota Jawa-Bali-Lombok-Sumbawa Timur hingga Bima selama 3 hari 3 malam. Masih dilanjutkan beberapa hari perjalanan laut dengan kapal kayu bermesin/boat menyusuri utara Pulau Flores hingga tiba di Pulau Alor. Alhasil perjalanan Jakarta-Alor via darat dan laut ini memakan waktu 9 hari! Sungguh perjalanan yang membutuhkan tekad dan keberanian luar biasa. Bayangkan, menumpang kapal kayu tanpa asuransi kecelakaan, dan tanpa sinyal telekomunikasi mengarungi lautan. O ya, rombongan Tim Ekskursi ini anggotanya lebih banyak mahasiswi dan tidak meninggalkan ibadah puasa... [caption id="attachment_151852" align="alignnone" width="650" caption="Alor, pulau kecil di ujung timur Jawa-Bali."][/caption] Bagi mereka perjalanan panjang dan melelahkan impas saat menjejak kaki di Pulau Alor. Daratan yang damai, pantai yang indah, laut biru, bahkan sesekali lumba-lumba meloncat di depan mata. Selanjutnya mereka tinggal selama dua minggu di sebuah kampung adat bernama Kampung Takpala. Rombongan terbagi atas beberapa tim. Setiap tim memiliki tugas berbeda, ada yang meneliti bentuk bangunan tradisional, dan ada yang meneliti mata pencaharian, dan tim lain meneliti adat istiadat penduduknya. Sepulang dari Alor, semua dokumentasi foto, video,  maket rumah adat, gambar sketsa hingga barang kerajinan yang mereka peroleh selama hidup menyatu bersama penduduk kampung adat ini dipamerkan dalam pameran  Alor: Living Celebration. Kampung Takpala, Setia Menjaga Tradisi Di kampung ini berdiam Suku Abui yaitu suku terbesar di Pulau Alor, jumlah penduduknya kurang dari 1.000 orang. Tahun 1983 Kampung Takpala ditetapkan sebagai salah satu tujuan pariwisata di Pulau Alor oleh Departemen Pariwisata. Namun 10 tahun sebelumnya, di tahun 1973 seorang berkebangsaan Belanda telah mempromosikan Kampung Takpala sebagai desa primitif melalui foto-foto di negaranya, sejak itu turis Belanda dan Eropa berdatangan ke kampung ini. Kampung Takpala sungguh sarat dengan tradisi dan upacara adat. Perayaan hidup menjelma dalam gerak dan musik, dan menyatu dalam keseharian masyarakat serta bentuk rumah adat. Misalnya tari lego-lego yaitu salah satu tarian adat, tarian ini dilakukan secara bersama-sama, diiiringi moko yang ditabuh, dan gerakannya mengelilingi moko sambil bergandengan tangan. Perayaan dengan tari seperti ini adalah kegiatan rutin yang dilakukan bersama, baik saat panen jagung, membangun rumah, pernikahan, kelahiran, dll. Sirih dan pinang adalah sahabat sejati. Selalu menemani hari-hari mereka di berbagai suasana. Sirih pinang juga merupakan tanda persahabatan, yang disajikan bagi setiap tamu. Setiap orang di Kampung Takpala memiliki tas fulak, yang terbuat dari anyaman bambu. Tempat membawa sirih pinang ketika menari lego-lego, atau tempat menyimpan uang. Rumah Lopo; Rumah Adat Bertingkat 4 Satu-satunya di Dunia Rumah adat suku Abui dinamakan lopo. Berbentuk limas, bangunan kayu beratap ilalang berdinding bambu. Lopo terdiri atas 4 tingkat, biasanya dihuni oleh 13 kepala keluarga. Ada dua jenis rumah lopo, yakni Kolwat dan Kanuruat. Rumah Kolwat terbuka untuk umum, siapapun boleh masuk termasuk anak-anak dan perempuan. Sedangkan Rumah Kanuruat hanya boleh dimasuki kalangan tertentu. Anak-anak dan perempuan dilarang keras memasuki rumah Kanuruat, jika dilanggar akan menimbulkan penyakit di mana proses penyembuhannya harus dilakukan dengan upacara adat. Gotong royong saat membangun sebuah rumah adat adalah bagian dari tradisi masyarakat di kampung ini, seperti juga di kampung adat lain di NTT seperti Kampung Wae Rebo di Flores. Inilah rumah adat tradisional bertingkat 4 satu-satunya di dunia. Setiap lantainya memiliki fungsi yang berbeda. Lantai 1 adalah tempat berkumpul dan menerima tamu, lantai 2 ruang tidur dan masak, lantai 3 tempat menyimpan makanan, dan lantai 4 untuk menyimpan barang-barang pusaka- seperti moko- yang akan dipakai jika ada kegiatan adat. Moko merupakan warisan nenek moyang suku Alor yang berusia ratusan tahun. Bentuknya mirip gendang terbuat dari perunggu. Dahulu moko adalah alat barter antar pedagang dari negara lain yang datang ke pulau ini, juga berfungsi sebagai genderang yang ditabuh saat perang antarsuku. Kemudian moko beralih fungsi menjadi mahar pernikahan, kini sebagai barang pusaka, harganya menjadi sangat mahal. Tangga merupakan sarana utama untuk keluar masuk rumah, dan penghubung antarlantai. Di lantai tiga yang merupakan gudang untuk menyimpan hasil kebun seperti jagung, tiang kayu tampak berwarna hitam, akibat setiap hari diterpa asap dari dapur yang berada tepat di bawahnya. Uniknya api dari dapur tidak membakar kayu dan ilalang, bahkan justru memperkuat. [caption id="attachment_151828" align="alignnone" width="324" caption="Tangga di dalam rumah lopo. Foto: detik.com"][/caption] [caption id="attachment_151826" align="alignnone" width="298" caption="Moko, dahulu alat barter dan genderang perang, kini sebagai mahar."][/caption] Suku yang mendiami Pulau Alor dan sekitarnya mencapai 50 suku.  Jika para pria berburu dan berkebun, para wanita umumnya mengisi waktu dengan menenun. Uniknya, setiap suku memiliki motif tenunan berbeda yang didominasi oleh motif bunga, kepiting, kura-kura serta ikan. Warna tenun ikat  khas Alor adalah hitam, merah, kuning, dan biru. Bentuk tenunan pun beragam, mulai dari ukuran kecil  untuk selendang, sarung hingga kain lebar semacam sprei. Jika dahulu kaum wanita Alor menenun untuk dipakai sendiri atau keluarganya, kini tenun Alor menjadi komoditi andalan yang dicari setiap wisatawan. Harga tenun ikat paling murah sekitar Rp 150.000. Pariwisata & Ekonomi Kreatif di Kampung Takpala Dengan kesetiaannya menjaga tradisi, tidak heran sejak 30 tahun lalu turis asing telah menggandrungi 'suku primitif' di Kampung Takpala, Alor. Hal ini membuktikan pulau kecil di utara Provinsi NTT  ini menyimpan potensi luar biasa sebagai daya tarik pariwisata Indonesia. Itu artinya menambah daftar daya tarik wisata di Provinsi NTT, setelah Pulau Komodo yang baru dinominasikan sebagai  New7Wonders. Namun sayang, potensi Kampung Takpala khususnya, dan Alor umumnya belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Akhirnya peluang yang ada hanya dimanfaatkan oleh pegiat pariwisata, yang tentu saja memperoleh keuntungan dari arus turis asing. Cobalah browsing di google dengan mengetik Takpala Alor, maka yang muncul adalah travel agent online yang menawarkan paket Alor Cultural Tour dengan tarif kurs dolar amerika. Tanpa harus ke Alor, berkat pameran Alor: Living Celebration, hasil ekspedisi mahasiswa Arsitektur UI selama 1 bulan, saya mengenal dan mengagumi tradisi ratusan tahun yang tetap terjaga di Kampung Takpala. Rumah adatnya, upacara adatnya, filosofi hidup masyarakatnya, kerajinan tenun ikatnya... Jika pariwisata Belitung bisa melonjak 300% berkat film Laskar Pelangi, dan Ubud semakin mendunia berkat film Eat, Love and Pray, mungkin jika eksotika Alor diangkat ke layar lebar bakal mencengangkan dunia. Andai saja Ibu Mari Pangestu dan wakilnya Pak Sapta Nirwandar, serta jajaran Kementrian Parenkraf (Pariwisata & Ekonomi Kreatif) mau memberikan sedikit perhatian untuk mempromosikan pulau indah di timur Jawa-Bali ini...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun