Mohon tunggu...
oom arsalan
oom arsalan Mohon Tunggu... -

oom arsalan adalah nama panggilan saya. nma saya aslinya adalah Mukhtarom alMuttaqin.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Makna Sholat

21 November 2012   13:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:55 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi,dan hanya untuk membohongi orang lain; maka semuaya merupakan keburukan dan sumber malapetaka di muka bumi. Tidak bisa dipegangi artinya ke-lima rukun islam itu tidak dapat dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan hidup. Misalnya secara teoritis banyak orang yang pandai berdalil bahwa shalat harus dikerjakan secara khusuk. Tetapi fakta yang terjadi melatih seseorang untuk bisa khusuk itu tidak gampang. Bukan hanya yang dilatih yang tidak dapat mengerjakan sholat khusuk, tetapi kebanyakan yang melatih pun belum bisamengajarkan shalat dengan khusuk.

Sedangkan bagi orang-orang yang melupakan dan mengabaikan makna shalat, hanya akan mendapat murka-Nya. dalam artian shalat yang dikerjakan oleh kebanyakan orang telah kehilangan ‘ruh dan maknanya’. Shalat merupakan hal yang mencelakakan manusia bila hanya dikerjakan sebagai pemenuhan formalitas, hanya sebatas mengugurkan kewajiban, alias tidak mampu memberikan manfaat bagi orang-orang yang menderita. Tidak adanya perubahan perilaku yang signifikan kearah yang diridhai Allah swt. Al-qur’an telah mengkritik dengan Firman-Nya,

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Qs. Al-Mâ’un: 4-7)

Dari ayat tersebut pelaksanaan shalat bukanlah sebuah tujuan dalam hidup ini. Shalat merupakan sebuah etika dalam kehidupan beragama. Makna dan tujuan dibalik pelaksanaan shalat itulah yang tidak boleh diabaikan. Perilaku orang yang shalat dan yang tidak shalat harus berbeda. Karena out put dari shalat yang benar (khusuk) tercermin dalam kehidupan sehari-hari dengan terwujudnya kehidupan yang rahman lil ‘alamin. Kasih sayang terhadap sesama, perhatian terhadap lingkungan, tidak membuat onar, taat terhadap rambu-rambu lalu lintas, meminjam istilah Gus Luthfi ‘hidup bersih, benar, tidak menyakiti orang lain.’

Suatu syari’at yang hanya ditunaikan secara formal itu merupakan hal yang buruk. Padahal sekarang ini banyak orang berpandangan bahwa, “Yang penting shalat dikerjakan, daripada tidak.” Ada juga yang berlasan; “Lho, yang mengerjakan shalat saja banyak yang tidak bisa berbuat baik, apalagi yang tidak.” Hal demikian saya nilai sebagai suatu yang salah ‘pengandaian’. Salah dalam mengambil perbandingan. Ini tidak bisa disamakan dengan siswa yang menghadapi ‘ujian esai’. Bagi yang akan menempuh ujian esai, tentu saja harus belajar dan berlatih terlebih dahulu agar bisa lulus. Bila tidak pernah belajar dan berlatih, jangan berharap bisa lulus.

Ibadah juga dapat dianalogkan dengan ‘upacara’. Ibadah merupakan upacara yang disertai keyakinan agama. Orang yang mengikuti upacara di kantor pemerintahan atau istana Negara merupakan kewajiban. Hadir di upacara sekedar kewajiban. Formalitas. Setelah itu, koruptor ya kembali korupsi. Si maling kembali mencuri dsb.

Sekarang ini kita menyaksikan keadaan demikian di negeri ini. Tempat ibadah penuh sesak. Berbondong-bondong orang yang melakukan formalitas ibadat—apalagi shalat dua Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha-red). Tetapi perilaku negatif kian hari semakin meningkat. Terbukti korupsi di negeri ini tergolong nomor wahid. Rasa solidaritas, sepenanggungan seperasaan, semakin kandas. Tak berbekas. Para elit pemerintahan cuek, tak acuh pada penderitaan orang banyak, orang kaya tidak mau memperhatikan yang miskin. Yang penting gue enjoy. Keagamaan hanya sebatas pada simbul. Dan, identitas diri belaka. Belum sampai pada penghayatan keagamaan. Akhirnya apa yang terjadi…? Bencana melanda negeri ini. Mala petaka tak kunjung usai, sejak pertengahan 1977 sampai sekarang 2008. Ini semua bisa terjadi karena kita cuma riyak dalam beragama.

Sehingga praktik keagamaan tidak berimplikasi—membekas terhadap “amar ma’ruf nahi munkar” seolah-olah praktik rukun Islam itu tak terkait dengan akhlak atau budi pekerti dan perjuangan hidup. Sehingga timbulah istilah “sholat oke dan maksiat jalan terus” dengan kata lain rukun Islam dikerjakan, perintah dan larangan pun diabaikan. Sebagian besar umat bangsa ini belum mampu menjadikan syari’at Islam--khususnya shalat--sebagai motivator kecerdasan keagamaan.

Jika seseorang telah mancapai derajat menjadikan syari’at Islam sebagai motivator kecerdasan, maka insya Allah hidupnya akan selalu berdzikir kepada Allah swt meskipun dalam keadaan bergerak, berdiri, rukuk, sujud dan duduk dalam satu kesatuan, maka terciptalah ketenangan batin. Yang mana dalam shalat ada ‘washala’ yaitu tindakan untuk menghubungkan, menyatukan diri dengan Tuhan. Bila ini tercapai maka lahirlah ‘kasih’. Yang terejawantahkan tercegahnya seseorang yang menegakkan shalat dari perbuatan keji dan munkar.

Nah, tujuan shalat itu untuk mencegah perbuatan dan tindakan keji dan munkar. Bukan untuk mendapatkan surga. Jika orang sudah tidak berbuat keji dan munkar maka surganya akan datang dengan sendirinya. Seseorang dikatakan terbebas dari perbuatan dan tindakan keji bila ia sudah tidak lagi melakukan perbuatan yang memalukan. Tidak lagi berbuat yang menjijikkan. Ia bebas dari perbuatan dan tindakan munkar bila ia tidak melakukan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Lalu bagaimanakah shalat yang benar itu?

Sholat yang benar adalah sholat yang mengikuti Rasulullah serta didasari dengan rasa cinta kepada Allah swt. Dan menyadari dengan sepenuh hati bahwa diri ini tidak lebih dari seorang hamba-Nya. Sebagaimana diterangakan oleh Imam Ibn Atha’ illah as-Assakandari di dalam Hikamnya, menukil pernyataan Rabi’ah al-Adawiyah dalam satu munajatnya;

“Ya Allah jika aku menyembah Engkau karena mengharapkan surga, maka campakkanlah surga kepadaku. Jika aku menyembah Engkau karena takut akan neraka, maka lemparkanlah aku kedalam neraka Engkau. Namun jika aku menyembah Engkau semata karena cintaku kepada Engkau, maka perkenankanlah aku melihat Wajah Agung Engkau.”

Inilah makna dari Firman-Nya,

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,” (Qs. Al-Mu’minun: 1-2)

Wallahu a’lam

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun