Mohon tunggu...
wiwik kurniaty
wiwik kurniaty Mohon Tunggu... Administrasi - mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Minimalisir Radikalisme, Saatnya Melihat Apa yang Terjadi di Kampus

5 Mei 2017   06:11 Diperbarui: 5 Mei 2017   08:38 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa ISI Menolak HTI - http://images.solopos.com

Sekitar tahun 1990-an, delapan tahun menjelang rezim Orde Baru tumbang, atau dekade di mana pertumbuhan gerakan menentang Soeharto bergerak menuju puncaknya, Ismail Yusanto membawa sejumlah buku tentang Hizbut Tahrir ke kampusnya, Universitas Gadjah Mada. Buku-buku itu dibawanya setelah belajar di Bogor.

Saat ini, Ismail Yusanto dikenal sebagai juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dengan latar belakang “Bogor” sebagai tempat Ismail mempelajari Hizbut Tahrir, maka tak mengherankanlah jika video tentang 1.500 orang yang berikrar mendukung penegakan negara khilafah di Indonesia, terjadi di Bogor, tepatnya di kampus Institut Pertanian Bogor. Poin pentingnya bukanlah Bogor sebagai satu titik tempat semata. Namun, bagaimana strategi penyebarluasaan ideologi khilafah dilakukan di kampus. Ingat, bukan pesantren, namun kampus.

Pada dasarnya, kampus adalah ruang yang lebih netral dari agama jika dibandingkan dengan pesantren yang memang didirikan sebagai tempat mempelajari agama Islam. Namun, tanpa menyentuh ruang netral ini, rasanya perkembangan HTI tidak akan sepesat sebagaimana yang ditunjukkan oleh video yang mem-viral sejak dimuat di situs Youtube pada April silam itu. Dan jika kita menghitung tahun 1990 sebagai titik awal diperkenalkannya Hizbut Tahrir dan ideologi khilafahnya, maka di tahun 2017 ini ideologi itu telah menyebar selama 27 tahun. Dan 27 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah usaha penyebaran ideologi.

Pasca reformasi, sebutlah pada tahun 2002-2004, sebagai efek pecahnya peristiwa 9 September 2001 di Amerika Serikat, adalah momentum yang membuka jalan bagi kelompok Hizbut Tahrir untuk mendapatkan posisinya di Indonesia. Pada saat itu, posisi Hizbut Tahrir tidak dilihat dari sisi keinginannya untuk menegakkan khilafah dan mengganti Pancasila, melainkan memusuhi Amerika karena menyerang Irak dan Afghanistan.

Dan di tahun-tahun itu, di kampus-kampus terjadi semacam boomingmahasiswa-mahasiswa yang mengenakan celana “ngatung” dan mahasiswi-mahasiswi berjilbab panjang. Sebagian besar kelompok ini tergabung dalam kelompok dakwah dan berafiliasi dengan Partai Keadilan Sejahtera. Dalam beberapa tahun terakhir, orang-orang yang bersetuju untuk menegakkan khilafah ini mengalami masa surutnya. Disebabkan karena pada akhirnya, patron mereka di partai terlibat korupsi. Hukuman moral ternyata berdampak kepada popularitas gerakan ini.

Kini, kelompok ini bangkit kembali karena mendapatkan momentum pada kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI Jakarta incumbent, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dalam gelombang kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017. Perhatian media massa membuat posisi kelompok Islam yang sempat surut ini kembali lagi ke permukaan.

Pelajarannya adalah kategori moral umum seperti pandangan hina terhadap korupsi, ternyata jauh lebih ampuh ketimbang sikap memilih ideologi tertutup yang cenderung menolak perbedaan agama. Apa yang terjadi dengan kelompok mahasiswa pendukung khilafah di dekade pertama abad ke-21 adalah bentuk pukulan nilai moralitas yang berlaku umum. Yang luput dari kita adalah, bahwa perubahan situasi politik bisa membiaskan pandangan. Jika dahulu, Hizbut Tahrir lebih dilihat sebagai sekelompok orang – yang sebagian anggotanya adalah mahasiswa – yang menentang ketidakadilan karena Amerika Serikat menyerang Afghanistan dan Irak, maka kini citra itu sudah berbeda.

Politik telah membiaskan semuanya. Kini, setelah situasi memberi tahu kita tentang apa yang bisa dihasilkan oleh zaman, maka sudah waktunya kita untuk mengawasi dan mencermati apa yang sebenarnya terjadi di kampus-kampus. Dan terhadap kampus, tentu tidak perlu tenaga fisik yang menjurus kekasaran, perlawanan dengan pikiran dan wahana ilmiah akan mematahkan mereka yang lebih suka membenci perbedaan ketimbang bersyukur bahwa Pancasila telah menyelamatkan mereka dan orang tua mereka selama ini.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun