17 tahun yang lalu, saya masih tercatat sebagai mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bali, di Bukit Jimbaran, yang berjarak beberapa kilo meter dari lokasi kejadian Bom Bali.
Malam itu malam minggu, teman-teman kost yang kampung halamannya dekat misalnya Tabanan, Gianyar, Bangli banyak yang memilih pulang ke rumah, untuk menghabiskan liburan bersama keluarga.
Sedangkan saya dan teman sebelah kamar, memilih tetap tinggal di kost bersama teman-teman lain yangan berasal dari daerah lain di luar pulau Bali.
Di gang lingkungan kost saya kala itu, banyak yang berasal dari Kupang dan Palu juga Jakarta. Di antara mereka banyak pula yang memilih turun ke Denpasar.Â
Lingkungan kampus saya berada di bukit, yang jalannya naik, jadi ketika hendak berbelanja kebutuhan atau mencari hiburan kebanyakan pergi ke Denpasar, karena di seputaran kampus di kala itu hanya ada beberapa supermarket selebihnya hanya warung kecil dan saat itu hanya ada satu restoran cepat saji yang baru buka yaitu McD.
Selebihnya hanya fasilitas hotel dan penunjang wisata lain yang mungkin bila diukur dari kantong mahasiswa jelaslah tidak cukup.
Untuk itulah, banyak yang lebih suka ke Denpasar, dan beruntung bagi mahasiwa yang kampusnya di Sudirman Denpasar, yang mungkin hanya beberapa mata kuliah saja yang mereka dapat di kampus Jimbaran, dan lebih banyak di kampus Sudirman, maka mereka akan kost di Denpasar.
Ketika malam minggu banyak juga teman yang berkunjung ke Denpasar ke kost teman lain memilih tinggal di Denpasar. Termasuk saya sendiri. Teman lain yang saya punya tidak hanya dari kampus yang sama dengan saya, ada yang kuliah Kebidanan, Keperawatan dan jurusan lain yang juga tinggal di sekitar kampus Sudirman.
Malam itu saya turun hanya sampai di minimarket jalan By Pass Ngurah Rai arah Nusa Dua untuk membeli makanan.
Malam itu, di tanjakan, saya berbisik dengan teman kost yang membonceng saya, "kok rasanya ngeri ya malam ini". Entah karena tanjakan yang lagi sepi atau firasat ada sesuatu yang akan terjadi.