Mohon tunggu...
Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger Indonesia

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Menulis Menjadi Beban

14 Maret 2011   11:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:48 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1300101861870930721

Ketika Menulis menjadi Beban

Dalam pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SMP Kelas VIII karangan Dra. Idda Ayu Kusrini, M.Pd, menulis adalah salah satu bagian terpenting dari keterampilan berbahasa. Untuk bisa menulis dengan baik orang harus memiliki kemampuan mendengarkan, berbicara, dan membaca. Tanpa ketiga kemampuan itu, maka menulis akan menjadi beban. Karena menulis membutuhkan bahan bacaan, bahan omongan, dan bahan lainnya dari apa yang kita dengar.

Sebenarnya kita bisa dengan mudah menulis. Menulis dari yang kita dengar atau lihat dari pengalaman hidup sehari-hari. Kita bisa menuliskan dari yang kita dengar, menulis dari apa yang dibicarakan, dan menulis dari apa yang dibaca. Lalu kenapa banyak orang tak mampu menulis? Sebab menulis telah menjadi beban. Menulis menjadi sebuah beban berat karena ketidaksiapan diri dalam memadukan apa yang ada di pikiran dengan tindakan.

Menulis adalah sebuah keterampilan yang bisa dilatih, dan diajarkan. Sayangnya banyak orang atau guru di sekolah kita tak bisa mengajarkan menulis. Bahkan banyak saya temui guru Bahasa Indonesia yang mengajarkan menulis kepada peserta didiknya justru tidak bisa menulis. Mereka hanya mampu mengenal menulis dari sisi teoritis, tetapi praktiknya kurang dilatihkan. Ibarat guru olahraga yang mengajarkan berenang, tetapi dia sendiri tak bisa berenang. Sungguh ironi dan menyedihkan.

Banyak guru tak bisa menulis. Banyak peserta didik tak bisa menulis. Tetapi ketika dia berbicara, maka rangkaian kata demi kata keluar begitu cepat, dan membuat kita terpana. Ternyata, masih banyak orang yang bisa dengan mudah berbicara secara lisan, tetapi berbicara melalui tulisan tak semua orang bisa. Perlu latihan terus menerus agar bisa berbicara secara tulisan. Semua itu harus dilakukan tanpa beban.

Melihat kenyataan yang ada, banyak sekali saya temui guru bahasa Indonesia tak mampu menulis dengan baik. Wajar saja, bila peserta didik kita pun mengalami hal yang sama. Sulit merangkai kata demi kata agar bermakna, sehingga mampu mengikat makna. Terlalu banyak teori menulis yang dipelajari di sekolah, sehingga menulis menjadi sebuah beban. Sementara praktiknya kurang dioptimalkan, dan terasah dengan baik. Padahal menulis harus lebih banyak praktik dari pada teori.

Ketika menulis menjadi sebuah beban, maka kreativitas menulispun akhirnya tersumbat. Tersumbat oleh pikiran dari diri kita sendiri. Seperti saluran air yang mampet banyak air yang tergenang. Di dalam air yang tergenang itu akan tumbuhlah dengan cepat jentik-jentik nyamuk. Nyamukpun dengan cepat berkembang biak. Nyamuk tak akan mungkin berkembang biak di air yang mengalir.

Kalau menulis dibiarkan saja di dalam pikiran, maka akan menjadi sakit kepala yang menjengkelkan. Oleh karena itu, biasakan diri untuk mengalirkan apa yang ada di pikiran dengan menulis. Mulanya memang serasa susah, tetap lama-lama menjadi mudah. Seperti orang yang baru belajar sepeda saja. Susah sekali bisa mengemudikannya, tetapi kalau sudah bisa, pastilah kita ngacir kemana-mana. Persis seperti Berlian anak kedua saya yang baru saja bisa naik sepeda. Dia pamer ke sana- kemari karena sudah bisa bersepeda, meskipun di kakinya banyak bekas luka akibat belajar bersepeda. Berlian sering terjatuh, dan segera bangun kembali. Keinginan kuat untuk bias bersepeda membuatnya menyingkirkan rasa sakit yang ada di kakinya.

Begitupun dengan menulis. Jangan biarkan apa yang ada dalam pikiran menggenang lama di kepala. Apa saja yang ada di pikiran harus disalurkan dengan cara membersihkan sumbatan-sumbatan dari dalam diri. Kita harus melakukan therapy menulis. Bukan belajar kepada Ponari, tetapi belajarlah kepada diri kita sendiri. Dengan melakukan therapy, maka percaya diri dalam menulis akan tumbuh, dan terus berkembang. Kita pun menjadi terkenal di mana-mana karena tulisan kita.

Sumbatan-sumbatan dari dalam diri harus di lawan. Apa saja sumbatan-sumbatan dari dalam diri itu? Sumbatan dari dalam diri itu adalah karena kita tak menjadi pendengar yang baik. Ketika ada orang yang sedang berbicara kita ngomong sendiri, dan kurang mendengarkan dengan baik. Kitapun kurang mampu berbicara dengan kemampuan bahasa yang baik. Sebab pembicara yang baik adalah pendengar yang baik. Ditambah lagi dengan lemahnya budaya baca. Minim sekali bahan bacaan yang kita baca.

Menulis itu perlu bahan. Bahan-bahan itu harus mampu kita siapkan sendiri bila ingin menulis dengan baik. Tak ada penulis terkenal yang tak suka membaca. Tak ada pembicara handal yang tak suka mendengar. Menulis adalah ilmu tertinggi dari keterampilan berbahasa dan bersastra. Tanpa menulis orang belum jadi siapa-siapa walaupun dia adalah seorang pembicara yang hebat sekalipun. Sebab kemampuan berbahasa yang tertinggi adalah menulis. Dengan menulis kita akan terkenang, karena ada pesan yang telah dituliskan untuk anak cucu kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun