Mohon tunggu...
Widi Admojo
Widi Admojo Mohon Tunggu... Guru - Widiadmojo adalah seorang guru, tinggal di Kebumen

sedikit berbagi semoga berarti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buzzer, Antara Idealisme dan Politicking

10 Oktober 2019   14:50 Diperbarui: 10 Oktober 2019   15:45 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Heboh isu tentang “buzzer”, penulis berbayar, belakangan ini mengemuka jadi perbincangan hangat. Berbagai statement bermunculan merespon fenomena hadirnya “buzzer” di berbagai media sosial, yang gencar mendengungkan isu bersponsor untuk menciptakan opini publik sekaligus untuk menggaungkan tema-tema titipan dari berbagai sumber kepentingan.

Fenomena hadirnya “buzzer” ini, muncul menguat bersamaan dengan jalannya proses demokrasi pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden. “Buzzer” menjadi juru kampanye yang diyakini cukup efektif mempengaruhi opini publik, sehingga mampu menggiring pola pemahaman dan persepsi pada suatu permasalahan tertentu.

Dimana pada akhirnya mampu menjadi “pengeksekusi” pilihan mana akan dijatuhkan baik pada pilkada, pemilian legislatif, pemilihan presiden, maupun kontestasi politik lainnya. Keahlian “buzzer” menguasai media, menggiring opini publik, lalu menyebarkan ke berbagai media, menjadi bagian penting skema pemenangan suatu kontestan politik.

Seorang “buzzer” dalam konteks semacam ini bisa saja akan “menjual” proposal skema penggiringan opini, area atau keluasan isu yang akan disebar, dan perubahan opini apa yang akan ditarget dari “proyek yang digarapnya”.  Atau bisa juga datang dari pencari “buzzer” itu sendiri yang mem”brosing” figur-figur mana saja, yang dianggap cukup  memiliki kekuatan untuk menggelontorkan “isu  kepentingan.

Lalu mencoba mengajukan “MOU” lengkap dengan RAB yang ditawarkan. Meskipun dalam praktik di lapangan, transaksi kerja sama berkepentingan ini sangat mungkin cukup dilakukan dalam forum sarapan pagi, atau ngopi bersama di kedai-kedai pinggiran kota.

Penulis berpolitik, sah-sah saja. Karena menulis kadang tidak pernah bebas dari kepentingan. Bahkan menulis itu sendiri adalah kepentigan. Menjadi menarik manakala, penulis secara “fenomenal” lalu menjadi media perebutan kepentingan, yang dipergunakan sebagai alat, bahkan ada yang menyebutnya sebagai “budak kepentingan”, yang secara grafis, cukup menunjukkan pergerakan yang ekstra luar biasa.

Menulis dalam konteks kepentingan para pendengung bersponsor seperti ini, lalu berperan sebagai iklan berbisnis yang bisa saja apa yang didengungkannya bukanlah merupakan idealisme murni yang sesungguhnya dimiliki. Menuliskan idealisme bersponsor inilah yang menjadi pembeda ia seorang “buzzer” atau kolumnis media yang netral. Dalam arti tidak ada keberpihakan yang memperkosa idealismenya.

Pertanyaannya adalah, sejauh mana para “buzzer politik” ini dalam menjalankan aksinya tidak berseberangan dan tetap berkeadilan, berkeseimbangan, berestetika, tidak secara ceroboh mendengungkan sebuah isu, atau katakanlah “gagasan titipan”, yang secara mikro maupun makro dapat merugikan khalayak, serta memunculkan kemudaratan di tengah khalayak.

Atau tidakkah lebih baik, secara “fair”  mendeklarasikan posisinya sebagai penulis yang berpihak pada kepentingan tertentu, sehingga publik menjadi lebih jernih dalam memberikan assesmen dan analisanya terhadap dengungan-dengungan yang dipublikasikannya. Tampil bersembunyi dan menciptakan gagasan titipan kadang menjadi persoalan ketika gagasan yang diopinikan kemudian menjadi penyesatan opini yang merugikan khalayak.

Akan tetapi kepentingan adalah kepentingan. Keberpihakan menjadi hak azasi yang merdeka.  Penulis bebas berkepentingan. Demokratisasi menulis ide tidak dapat diperkosa dengan batasan-batasan yang kontraproduktif.

Namun, pemerkosaan kemurnian idealisme, untuk dijual menjadi idealisme titipan, inilah yang menjadi pertimbangan untuk direevaluasi para “buzzer” yang hanya berkebutuhan latar belakang  bisnis semata. Buzzer akan lebih gentle tetap harus berkiblat pada prinsip-prinsip “obyektifitas”, “realitas”, “netralitas” , berestetika, berkeadilan, berkeseimbangan, dan bila mana perlu mampu memberikan edukasi yang benar pada pemburu kepentingan yang secara membabi buta kadang terus membrosing para aktor “buzzer” untuk dijadikan sapi perahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun