Mohon tunggu...
Heru Widhi Handayani
Heru Widhi Handayani Mohon Tunggu... -

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Haru Biru Ujian Nasional

27 Maret 2013   04:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:09 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari itu Sabtu 2 Maret 2013, aku menyaksikan murid-muridku kelas sembilan mengikuti bimbingan belajar di sekolah. Mau tidak mau, suka atau tidak suka belajar di kelas saja masih jauh dari cukup. Sekolahku pun merasa perlu mengundang lembaga bimbingan belajar untuk menambah matang persiapan anak didik dalam menghadapi ujian nasional yang dimulai pada 22 April mendatang.  Aku sendiri mengajar Bahasa Indonesia. Seminggu sekali memberikan pendalaman materi di luar jam belajar.

Menjelang detik-detik ujian nasional seperti ini, mereka hanya belajar empat bidang studi yang diujikan. Pelajaran yang diujikan adalah bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, dan IPA. Bahkan ada sekolah yang begitu masuk semester genap praktis hanya belajar keempat mata pelajaran tersebut. Artinya pula, ada pelajaran yang diutamakan dan ada pula yang dinomorduakan. Ketika bicara pelajaran yang dikesampingkan, di sini juga termasuk guru pengampu tiap-tiap pelajaran nonujian nasional.

Ketika bimbingan belajar dan pendalaman materi menjadi trend, lantas apakah fungsi sekolah sekarang? Apakah sekolah tidak berhasil dalam menyiapkan anak didiknya dalam menghadapi ujian nasional? Apakah tambahan pendalaman materi di sekolah-sekolah dirasa belum cukup?

Ada baiknya kita kilas balik ke pendidikan era 1980-an. Aku merasakan lembaga bimbingan belajar saat itu diperuntukkan bagi siswa yang kurang mampu mengikuti pelajaran di kelas. Oleh karena itu bimbingan belajar pada waktu itu dikenal pula dengan sebutan les.  Adapun kursus diperuntukkan bagi siswa yang ingin lebih mendalami bidang pelajaran tertentu, misalnya kursus bahasa Inggris atau matematika. Tak heran bila dahulu teman yang kursus bahasa Inggris bisa casciscus saat guru menjelaskan pelajaran ini.

Tiba pada masa-masa mendekati ujian. Siswa dituntut belajar sungguh-sungguh berdasarkan kemampuan sendiri. Buku kumpulan soal ujian dan prediksinya belum ada. Buku berisikan kumpulan materi selama tiga tahun sekolah juga belum ada yang menerbitkan. Walhasil, siswa sendiri yang dituntut kreatif untuk membuat semacam buku intisari pelajaran kelas tujuh hingga sembilan (jika ia duduk di bangku SMP) atau kelas sepuluh hingga sebelas (untuk bangku SMA/SMK).

Pada saat itu semua materi pelajaran berkesempatan sama untuk dimunculkan dalam soal ujian. Kegiatan belajar mengajar di sekolah berjalan seperti biasa. Materi diajarkan sampai tuntas. Siswa yang kreatif biasanya membuat catatan-catatan penting berisikan materi yang harus didalaminya sendiri. Ujian sekolah sama pentingnya dengan ujian nasional sehingga siswa besungguh-sungguh meraih hasil terbaik untuk semua mata pelajaran.

Beda dengan sekarang, pada akhir tahun di internet bisa kita unduh kisi-kisi ujian dari situs www.kemdiknas.go.id . Aku sendiri menyebutnya sebagai bocoran materi ujian nasional. Bagaimana tidak? Peserta didik tinggal mempelajari materi yang disinggung dalam kisi-kisi tersebut.  Misalnya kisi-kisi untuk bahasa Indonesia, dari 50 soal yang akan diujikan nanti 26 di antaranya sudah jelas-jelas tergambar dalam kisi-kisi. Sisanya berupa pengembangan dari yang ada dalam kisi-kisi. Misalnya kisi-kisinya tertulis mengidentifikasi isi tabel, grafik, bagan, denah maka akan diturunkan ke dalam empat atau lima soal.

Jadi begitu memasuki semester genap, umumnya siswa kelas sembilan atau dua belas didrill untuk mengerjakan soal yang sesuai dalam kisi-kisi ujian tersebut. Materi tidak lagi disampaikan di kelas, kalaupun ya dipilah-pilah untuk materi yang relevan dengan kisi-kisi ujian.

Begitulah situasi yang terjadi di sekolah. Bersamaan dengan itu aku merasa seperti menjadikan anak didikku layaknya buruh pabrik, bekerja sesuai spesialisasi mereka, spesialis kisi-kisi! Kering dan gersang dari unsur-unsur balajar yang menyenangkan. Semoga ini hanya yang aku rasakan saja. Semoga tidak dengan sekolah yang lain atau sama saja (?).

Kita paham betul bahwa tingkat kecerdasan siswa berbeda-beda seiring dengan perbedaan tumbuh dan kembangnya. Tapi ketika ujian nasional menjadi salah satu syarat kelulusan, maka ini berarti menyeragamkan tingkat kecerdasan siswa.  Untuk sekolah dengan input peserta didik yang baik tentu tidak masalah bicara soal angka kelulusan yang harus dicapai. Akan tetapi untuk sekolah dengan input yang kurang tentu ini menjadi beban tersendiri.  Sekolahku termasuk ke dalam kategori kedua.

Setiap aku memperhatikan kelas sembilan, suasananya berbeda sekali dengan kelas tujuh dan delapan. Nyaris tidak ada suasana santai. Belajar langsung buka buku soal. Langsung membicarakan kisi-kisi ujian. Kadang aku bisa merasakan kejenuhan di antara mereka.  Rata-rata kemauan belajar agak kurang. Namun pada kenyataannya mereka dipaksa belajar. Belajar tidak lagi berdasarkan kemauan mereka sendiri, hampir-hampir semua lantaran terpaksa. Takut tidak lulus!

Suatu kali aku menyuruh mereka membuat corat-coretan berisikan curahan perasaan mereka tentang ujian nasional. Inilah salah satu bagian kecil dari coretan muridku: Ya Allah, aku takut sekali tidak bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Semoga air mata orang tua tidak lagi tumpah karena aku….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun