Mohon tunggu...
Heru Widhi Handayani
Heru Widhi Handayani Mohon Tunggu... -

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Bantu DKI Jakarta Jadi PNS, Masihkah Dipersulit Kalau Bisa Dipermudah (?)

10 April 2013   04:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:26 3702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada yang banyak tidak tahu apakah guru bantu itu, bahkan mungkin di kalangan media maupun pejabat pemangku kebijakan di negeri ini. Pemberitaannya semakin tenggelam di antara ingar-bingar pro kontra kurikulum 2013. Kalaupun ada pemberitaannya sering tertukar dengan istilah guru honorer (yang mengajar di sekolah negeri).  Sejak presiden  menginstruksikan langsung pangangkatan guru bantu menjadi PNS terakhir 2009, seluruh daerah melaksanakannya  tapi tidak dengan DKI Jakarta. Ini fakta. Ini nyata.

Tahun 2003, saya mendengar kabar akan ada program guru bantu. Guru bantu merupakan program Pemerintah Pusat untuk mengatasai kekurangan tenaga guru secara nasional dengan dana yang terbatas pada 2003 dan 2004. Di luar DKI Jakarta yang  berhak mengikuti tes tersebut rata-rata guru honor  di sekolah negeri.  Di DKI Jakarta guru bantu berasal dari guru-guru swasta.  Soal mengapa ada perbedaan ini, Pemda DKI Jakarta saat itu mempunyai guru PTT  (Pegawai  Tidak Tetap) di sekolah negeri.

Merasa ada kesempatan saya lalu mendaftarkan diri dengan menyertakan rekomendasi dari kepala sekolah yang menyatakan bahwa saya sekurang-kurangnya telah berpengalaman tiga tahun mengajar. Tak selang berapa lama diadakan tes, semacam tes PNS, secara serentak. Jakarta dipusatkan di Gedung Olahraga Bung Karno.

Selepas tes diadakan pengumuman di kelima kantor walikota DKI Jakarta. Saat itu saya kebetulan berada di Jakarta Selatan mengikuti tes wawancara (akhir) untuk menjadi guru swasta di Labschool Kebayoran. Saya pun langsung meluncur menuju kantor walikota Jakarta Selatan.  Ternyata di kantor tersebut sudah ada serombongan orang yang bertujuan sama, melihat pengumuman yang dipajang di halaman kantor  itu. Alhamdulillah, nama dan nomor ujian saya tertera di sana. Saya lulus! Dalam hati saya berketetapan inilah jalan Tuhan bagi saya untuk mengajar anak-anak kurang mampu di tempat saya selama itu mengajar  ketimbang di Labschool yang notabene siswanya berasal dari kalangan mampu.

Sejak itulah saya menyandang predikat guru bantu. Guru kok (pem)bantu. Konotasi pembantu kan negatif, sama saja dengan babu—disuruh ini itu. Di lapangan saya sebagai guru bantu harus rela dituntut untuk mengerjakan ini-itu. Minimal dalam seminggu empat hari kerja. Namanya juga guru (pem)bantu, perintah kepala sekolah atau yayasan sekolah harus siap dilaksanakan.

Oya, waktu itu honor guru bantu Rp420 ribu yang biasanya diterima secara rapel dua-tiga bulan dan diambil langsung di kantor pos pusat di kotamadya. Jadi setiap dua-tiga bulan dipastikan kantor pos sesak dengan antrean guru bantu yang hendak ambil honor. Selain itu guru bantu ini tetap mendapatkan honor dari yayasan sekolah. Besarannya bergantung kepada kemampuan sekolah masing-masing. Yang jelas masih jauh di bawah upah minimum provinsi DKI Jakarta pada waktu itu sebesar Rp631.554.

Pada 2006 ada kenaikan honor menjadi Rp710 ribu. Sementara upah minimum provinsi sebesar Rp819.100. Terakhir, pada 2011 menjadi satu juta rupiah, sebagai pembanding upah minimum provinsi Pemprov DKI Jakarta Rp1.290.000. Pembayarannya sudah berbeda, transfer via Bank DKI. Yang masih sama adalah keterlambatan pembayaran, biasanya awal-awal tahun serta ketidakjelasan tanggal berapa honor turun.

Seiring waktu berjalan, ada embusan angin segar. Pada 2007 saya secara pribadi mendapat telepon langsung dari Kantor Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Utara yang memberitahukan saya untuk pemberkasan CPNS. Dari satu kecamatan Kelapa Gading hanya dua nama, salah satunya saya, yang mendapatkan kesempatan ini.  Ada perasaan bangga dari 6688 guru bantu saya salah satu yang terpilih. Segenap warga sekolah tempat saya mengajar memberikan ucapan selamat.

Selepas pemberitahuan itu saya harus berjibaku dengan waktu pemberkasan yang  tak kurang dari satu minggu. Dalam sehari saya bisa berada di empat tempat dengan lokasi yang berjauhan untuk memenuhi persyaratan pemberkasan. Semuanya berakhir di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) di  Jakarta Selatan.

Beberapa hari kemudian saya mendapat panggilan dari Kantor Dinas Pendidikan Dasar di Rawabunga, Jakarta Timur. Di sana saya diminta menyerahkan berkas, dan didata kembali, langsung diinput di komputer. Kemudian dari petugasnya kami mendapatkan informasi untuk menunggu kabar selanjutnya. Sampai kapan itu? Jawabannya tidak kunjung datang hingga sekarang. Sayangnya, waktu itu saya masih polos sepolos guru-guru bantu yang lain yang pada saat itu mengikuti pemberkasan. Polosnya, kami tidak mempunyai bukti otentik tentang pemberkasan itu. Yang ada pada saya hanyalah selembar kertas kecil bukti setoran berkas telah lengkap dari LPMP dengan paraf petugas, tanpa ada stempel.

Apakah saya merasa dirugikan dengan kejadian itu? Pasti. Pengumpulan berkas untuk kurun waktu sesingkat itu jelas memeras waktu, uang, tenaga, serta pikiran. Di sisi lain saya harus tetap melaksanakan kewajiban saya mengajar. Artinya saya baru berkesempatan mengurusnya sepulang sekolah selepas pukul satu siang. Waktu yang pendek untuk mengejar jam tutup kantor kasi, sudin, atau LPMP. Dalam hal ini saya masih bersyukur hanya jatuh sakit kecapekan ketimbang teman-teman senasib yang kala itu ada yang bercerita demi mengejar legalisir ijazah harus bolak-balik  saat itu juga via pesawat ke kampung halamannya di Sumatera sana.

Waktu terus berjalan, angin segar kembali berembus, lebih segar dari sebelumnya. Tahun 2008 Pemerintah mengeluarkan PP 48 sebagai pengganti PP 43 2007 yang sebagian isinya adalah mengangkat semua “tenaga honorer” yang menjadi CPNS paling lambat 2009. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.  Guru bantu mempunyai surat keputusan menteri pendidikan nasional yang kami terima pada 2003. Sebagai guru bantu kami sudah gede rasa alias GR apalagi sudah mengantongi nomor induk tenaga honorer di DKI Jakarta artinya kami pun resmi menjadi bagian dari tenaga honorer Pemda DKI.

Hampir di seluruh Indonesia melaksanakan instruksi ini. Pemerintah daerah mengangkat guru bantu di daerah mereka. Kerabat saya yang juga guru bantu di Yogyakarta yang tes guru bantunya setahun setelah saya, pada 2004,  juga telah PNS. Tapi lagi-lagi, yang di Jakarta, di pusat pemerintah negara ini, guru bantunya dibuat gigit jari. Pemerintah dalam hal ini Pemda DKI Jakarta waktu itu beralasan bahwa kata honorer merujuk pada mereka yang bekerja di instansi pemerintah. Pernyataan ini berakibat pada satu-dua guru bantu yang akhirnya mencari lagi “sawah” baru di sekolah negeri.  Alasan ini justru menjadi pembenaran bahwa dengan nyata  pemerintah masih mendikotomikan antara sekolah swasta dan sekolah negeri, guru swasta dan guru negeri.

Tahun 2011 di akhir masa pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo,  850 guru bantu diangkat menjadi CPNS dan ditempatkan di sekolah negeri. Dari jumlah itu ada sekitar 165 yang belum bisa diangkat CPNS dikarenakan belum lolos berkas. Kebijakan ini pun akhirnya menuai dilema, di satu sisi sekolah swasta kehilangan asetnya berupa guru, di sekolah negeri terjadi keluhan guru honorer negeri karena keberadaan eksguru bantu ini menggeser mereka.

Dalam pandangan saya, inilah hasil yang dituai pemerintah DKI Jakarta lantaran sejak awal salah dalam penetapan guru bantu berasal dari guru swasta demi mem-PNS-kan dulu guru PTT-nya. Dalam hal ini guru bantu menjadi korban sekaligus yang terombang-ambingkan dalam ketidakjelasan.

Seiring pergantian gubernur di DKI Jakarta, guru bantu pun berharap segera ada titik jelas kedudukan mereka. Pada Kamis, 28 Maret 2013, Gubernur Joko Widodo melantik 165 sisa guru bantu pada era Fauzi Bowo  yang belum diangkat menjadi CPNS. Dalam kesempatan itu dia menuturkan di Tempo.co akan ada pengangkatan guru bantu hingga 2015. Secara bertahap.  Dia juga sudah lama melayangkan perintah kepada BKD untuk menyelesaikan masalah guru bantu. “Tidak bisa jreng,” kata beliau.

Akan selesaikah guru bantu sebanyak 5.720 diproses untuk CPNS hingga 2015? Dalam Tempo.co Kepala Bidang Perencanaan dan Pemberdayaan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Maria Qibtya menyatakan DKI Jakarta memiliki 6.571 guru bantu. Dari jumlah tersebut baru 851 orang yang diproses untuk menjadi CPNS, termasuk yang 165 yang dilantik tersebut. Artinya masih ada 5.720 guru bantu yang masih belum jelas nasibnya. Masih menurut Tempo.co Maria menyebutkan, pihaknya sudah bersurat kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan terkait 5.720 orang tersebut. “Itu nanti Kemendikbud yang memutuskan bagaimana selanjutnya, DKI memroses sesuai kebutuhan DKI saja,” kata dia.

Pernyataan pihak BKD tersebut tidak sejalan dengan Guburnur DKI Jakarta. BKD hanya memproses sesuai kebutuhan wilayahnya, sedangkan Jokowi menyatakan akan memproses guru bantu menjadi CPNS hingga 2015.

Saat ini muncul istilah honorer KI dan KII.  April ini ada uji publik kelayakan honorer KII. Setiap membicarakan kata honorer, saya harus berpikir kembali, untuk tidak dibilang gede rasa, bahwa honorer untuk guru adalah istilah bagi guru honor di sekolah negeri sedangkan guru bantu yang dibiayai dari APBN yang mengajar di sekolah swasta entah apa sebutannya? Kami sendiri tidak termasuk dalam KI maupun KII. Mungkin—menghibur diri—kami  di atas keduanya. Kuatir juga ada lantaran keseringan disalip dengan PTT maupun honorer yang muda-muda. Meminjam istilah anak muda guru bantu menjadi semakin galau di tengah-tengah kegalauan menunggu honor yang tidak turun-turun. Kumpul-kumpul berkas sudah keseringan dilakukan. Setiap awal bulan pun guru bantu tetap mengumpulkan surat keterangan aktif mengajar di LPMP sebagai syarat pencairan honor.

Sejak Januari hingga artikel ini saya unggah guru bantu belum menerima honor. Sekadar intermezzo, saya jadi berpikir inilah bedanya kata honor dengan gaji: honor turunnya suka-suka sedangkan gaji sudah pasti tanggal turunnya. Soal keterlambatan honor, guru bantu sering mengeluhkan lewat media jejaring sosial. Ada juga yang melayangkan sms ke WakilGubernur Basuki Tjahaya Purnama. Saat ada kesempatan pertemuan dengan dengan Gubernur Joko Widodo pun juga ada yang menanyakan hal ini, di samping pertanyaan utama tentang pemrosesan CPNS untuk seluruh guru bantu DKI Jakarta. Semua jawabannya berujung pada penggalan syair lagu Bento: sabar, sabar, sabar, dan tunggu.

Guru bantu menjadi pekerjaan rumah bagi Jokowi. Ibarat pepatah Jawa, bapak polah anak kepradah. Bapak berulah, anaknya yang menanggung akibatnya. Pemerintah daerah lalu sebagai bapaknya, pemerintah sekarang anaknya. Ini tidak akan terjadi seandainya ada itikad baik pemerintah daerah waktu itu. Kalau di luar DKI Jakarta hampir tuntas, mengapa di daerah pusat pemerintahan negara Republik Indonesia tercinta ini justru menuai masalah? Sepuluh tahun sudah penantian dalam ketidakpastian. Sebagian dari kami sudah tidak muda lagi, rata-rata di atas kepala empat.  Dan di pundak Jokowi kami berharap semoga pekerjaan rumah ini bisa diselesaikan dengan nilai yang memuaskan. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun