Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

“Cublak-Cublak Suweng”, Dunia Anak Indonesia yang Jujur

10 Juli 2013   08:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:46 4428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orang menatap dengan gembira ke arah anak-anak itu. Sayapun tersenyum melihat mereka berkumpul mementaskan permainan itu. Tembang-tembang dolanan mengalun lancar dari suara kompak mereka. Suara-suaranya mencairkan kembali kenangan yang sudah sangat lama mengendap sekaligus saya rindukan. Gerakan-gerakan itu, juga lagu-lagunya tak asing lagi di telinga. Ingatan saya pun terlempar jauh ke belakang ke masa-masa kecil ketika saya pernah menjadi seperti mereka, bersama dengan teman sebaya sepulang sekolah atau saat hari Minggu berkumpul di halaman rumah, di bawah pohon jambu menembangkan lagu itu.

Sekelompok anak perempuan memainkan permainan Cublak-cublak Suweng dalam peringatan Hari Anak Internasional di Halaman Kantor Gubernur DIY, 2 Juni 2013.

Minggu, 2 Juni 2013 menjadi hari yang menyenangkan bagi saya. Juga menjadi hari “Minggu yang sesungguhnya” bagi anak-anak itu. Peringatan Hari Anak Internasional digelar di halaman kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebuah panggung sederhana menjadi pagelaran yang istimewa untuk mereka. Berbagai aksi mereka bagi. Salah satunya menampilkan permainan dan lagu-lagu tradisional.

Pertunjukkan 9 anak perempuan dari sanggar Cebongan paling menarik perhatian saya. Begitu naik panggung mereka langsung berbaris dan dengan bahasa Jawa yang manis menyapa sebayanya yang berkerumun di depan. Sementara para orang tua dan orang dewasa yang menonton beberapa meter di depan panggung memberikan tepuk tangannya.

Setelah memainkan beberapa potong dialog anak-anak itu duduk melingkar. Salah seorang di antaranya mengambil tempat di tengah dan membungkuk menghadap penonton. Punggungnya dijadikan alas untuk tangan-tangan dari 8 orang temannya memainkan sesuatu. Sebuah tembang pun mulai dimainkan.

“Cublak cublak suweng

Suwenge ting gelenter

Mambu ketundhung gudel

Pak empong lera lere

Sapa ngguyu ndhelikake

Sir sir pong dhele kopong

Sir sir pong dhele kopong”

Hari itu mereka memainkan lagi “Cublak-cublak Suweng”, sebuah permainan yang  juga nama lagu tradisional pengiringnya. Permainan Cublak-cublak Suweng biasanya dimainkan oleh 4 orang anak atau lebih. Sebenarnya 3 orang anak sudah cukup untuk mewujudkan permainan ini. Namun jika hanya 3 orang, permainan ini akan cepat selesai dan kurang menantang karena bagian menebak yang menjadi puncak permainan ini menjadi sangat mudah. Oleh karena itu dolanan ini lebih seru dimainkan oleh lebih dari 3 orang anak.

Dalam permainan Cublak-cublak Suweng ada 3 peran yang dimainkan oleh anak-anak yakni seorang pemimpin atau pengatur permainan, seorang anak yang jadi “Pak Empong” dan sisanya menjadi teman bermain. Pak Empong adalah anak yang nantinya akan tengkurap dan menjadikan punggungnya arena bermain bagi tangan-tangan temannya. Pak Empong biasanya ditentukan lewat undian permainan tangan atau pingsut.

Permainan dimulai saat semua peran sudah terpilih. Sang pemimpin akan mengambil sebuah kerikil atau benda lain sebagai simbol untuk “suweng”. Selanjutnya ketika lagu Cublak-cublak Suweng dinyanyikan, ia pun akan mengedarkan kerikil itu ke tangan-tangan temannya di atas punggung Pak Empong. Cara mengedarkannya pun tidak sembarangan. Kerikil atau suweng diedarkan dengan agak menekan telapak tangan. Cara seperti inilah bisa membantu Pak Empong membaca peredaran suweng di atas punggungnya.

Biasanya lagu dinyanyikan lebih dari satu kali hingga suweng beredar beberapa putaran. Setelah dirasa cukup dan lagu selesai dinyanyikan, suweng akan berhenti diedarkan. Saat itu semua tangan harus menutup seolah-olah semuanya menggenggam suweng. Pak Empong bangkit dan memulai tugas utamanya yakni menebak tangan siapakah yang menyembunyikan suweng yang tak lain adalah tangan terakhir yang mendapatkan suweng ketika lagu selesai dimainkan.

Pak Empong diberi beberapa kali kesempatan untuk menebak di mana suweng disembunyikan dan sepanjang itu pula syair “sir sir pong dhele kopong” dinyanyikan sambil para pemain menggerak-gerakkan dengan ringan kedua tangannya. Jika tebakan Pak Empong salah maka ia akan kembali tengkurab dan permainan diulang lagi. Jika Pak Empong kembali tidak bisa menebak dengan benar anak-anak akan bersepakat untuk menyudahi tugas Pak Empong dan melakukan undian baru untuk menentukan Pak Empong beriktunya. Pada akhirnya semua bisa mendapatkan giliran memainkan peran Pak Empong.

Sebuah permainan sederhana namun kaya makna dan menyenangkan menjadi bagian di dalamnya. Dulu Cublak-cublak Suweng tak hanya sebuah permainan pengisi waktu libur dan istirahat di sekolah, tapi juga menjadi sarana mendidik anak untuk belajar nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, kecermatan dan kecerdasan. Ketika memainkannya anak-anak  termasuk saya ketika kecil mungkin tidak menyadari kalau saat lagu dinyanyikan dan permainan dimulai, maka saat itu pula jiwa dan pikiran sedang ditanami dengan nilai-nilai tersebut.

Pak Empong yang tengkurab tidak hanya terdiam melamun tapi harus berkonsentrasi merasakan gerakan tangan di atas punggungnya. Gerakan ini menandai di mana suweng akan berhenti ketika lagu selesai dinyanyikan. Sebelum tengkurap memainkan perannya, Pak Empong juga perlu mencermati bagaimana urutan teman-teman yang duduk mengelilinginya. Pak Empong juga harus cerdas memainkan emosi dengan menatap wajah teman-temannya lalu membaca mimik muka mereka karena biasanya yang susah menahan tawa adalah dia yang menyembunyikan suweng. Jika nilai-nilai kecerdasan, kecermatan dan konsentrasi ini diterapkan, Pak Empong bisa menebak dengan tepat di tangan siapa suweng disembunyikan.

Sebaliknya teman bermain yang berhasil ditebak oleh Pak Empong juga harus sportif dan jujur mengakui keberadaan suweng di tangan dengan cara membuka genggamannya. Selanjutnya ia akan bertanggung jawab dan menerima konsekuensi sebagai Pak Empong berikutnya.

Akhirnya permainan Cublak-cublak Suweng bukan hanya permainan jadul yang dimainkan untuk melestarikan lagu-lagu tradisional semata. Cublak-cublak Suweng merupakan media efektif untuk menanamkan nilai-nilai luhur kehidupan dan seni melalui cara yang tak neko-neko sesuai alam kehidupan anak-anak yang menyenangkan dan sederhana. Permainan semacam ini juga dapat membentuk kepekaan sosial melalui interaksi dan kerjasama dengan sesamanya sehingga anak tidak menjadi sosok yang individualis. Melalui gerak dan lagu, sebuah permainan tradisional seperti Cublak-cublak Suweng juga melatih perkembangan motorik anak.

13734204571346223183
13734204571346223183

Pada peringatan Hari Anak Internasional Yogyakarta, kelompok anak lainnya juga memainkan Cublak-cublak Suweng .

1373420606162460618
1373420606162460618
Pak Empong tengkurap di tengah lalu teman-temannya mulai bernyanyi "Cublak-cublak suweng, suwenge ting gelenter, mambu ketundhung gudhel..."

Melalui permainan tradisional anak-anak berlatih berkegiatan secara aktif. Lewat permainan tradisional kita bisa mengenal Indonesia. Sayangnya kita juga harus menerima kenyataan bahwa permainan sebaik ini tak lagi populer di mata banyak anak-anak Indonesia saat ini. Boleh jadi anak-anak yang memainkan Cublak-cublak Suweng dalam peringatan Hari Anak Internasional Yogyakarta di atas hanyalah bagian dari sedikit anak-anak yang masih mengenal permainan tradisional negerinya.

Hari-hari libur anak Indonesia sudah terlanjur disibukkan dengan rekreasi yang dimaknai sebagai jalan-jalan istimewa. Saat senggang dan waktu istirahat sekolah mereka tak lagi banyak diisi dengan nyanyian-nyanyian dan gerakan yang membangun ini.

Sementara di rumah anak-anak terlanjur mengenal dini seperangkat gadget, komputer tablet dan game on line. Mereka mungkin tampak senang memainkan alat-alat canggih itu. Mereka mungkin kelihatan menikmati waktunya di depan game on line. Tapi sesungguhnya anak-anak Indonesia itu sedang kesepian. Sepi karena dunia mereka yang berwarna sebenarnya bukan yang ditampilkan oleh layar LCD atau di dalam mall. Sepi karena seperangkat gadget di tangan mereka bukanlah teman yang sesungguhnya. Jauh di dalam alam pikirannya Anak-anak Indonesia sebenarnya merindukan dunianya yang lepas dan bebas seperti halnya gerak dan nyanyian Cublak-cublak Suweng.

Diperlukan upaya masif untuk kembali memasyaratkan permainan tradisional seperti Cublak-cublak Suweng ini di keseharan anak Indonesia. Sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa yang sarat nilai-nilai pendidikan dan rekreasi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan beserta Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Indonesia Travel diharapkan dapat menginisiasi upaya-upaya menghidupkan kembali permainan tradisional sebagai bagian dari kehidupan anak-anak Indonesia yang menyenangkan.

Cublak-cublak Suweng adalah potongan dunia anak Indonesia yang jujur. Sebuah permainan yang “Indonesia Banget” sekaligus menjadi bukti bahwa bangsa ini mewarisi dan melahirkan banyak kekayaan budaya, seni dan keindahan alam yang tiada duanya seperti halnya keindahan Indonesia lainnya yang dapat disimak di Indonesia Travel.

Ayo Anak-Anak Indonesia, mainkan duniamu!.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun