Mohon tunggu...
Wahyu Satrio Ardiko
Wahyu Satrio Ardiko Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Seorang Civil Engineer yang berkecimpung di bidang sumber daya air. Mempunyai ketertarikan lebih di isu lingkungan, infrastruktur, sosial dan ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lampu Penyeberangan Jalan: Cerminan Kedisiplinan Masyarakat

22 Januari 2014   15:42 Diperbarui: 1 April 2016   10:21 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siang ini, 22 Januari 2013, panas terik menyerang kota Yogyakarta setelah beberapa hari hujan. Saya memutuskan untuk mencari udara segar. Tujuan saya ingin menikmati suasana yang 'Jogja' sekali, maka saya pergi ke kawasan Malioboro. Kebetulan karena ada perlu di Ramai Mall saya berhenti sejenak.

Sudah lama saya tidak ke Malioboro dan ternyata sekarang ada lampu penyeberangan jalan di beberapa titik. Mungkin sudah lama dipasang, tapi saya baru saja melihatnya. Jalanan saat itu sepi, tapi saya tetap menekan tombol sehingga menyebrang dengan bantuan lampu tersebut.

Tidak hanya menyebrang, setelah itu saya memperhatikan jalanan sekitar, baik memperhatikan para pengendara kendaraan bermotor dan para pejalan kaki. Apa yang saya dapat?

Pertama, banyak pejalan kaki menyebrang langsung begitu saja, tanpa menggunakan lampu penyeberangan atau bahkan tidak melewati zebra cross. Kasus ini memang bisa jadi dikarenakan karena mereka belum paham, namun setelah ditelusuri melalui internet, sudah dilakukan simulasi penggunaan. Permasalahannya adalah, apakah para pejalan kaki tersebut tidak disiplin, atau sosialisasi yang kurang?

Tapi yang jelas yang sangat terlihat tidak disiplin adalah para pengendara kendaraan bermotor. Ketika lampu sudah merah, namun tetap saja jalan. Ketika saya berada di tengah jalan, kendaraan dari jauh terlihat tidak melambatkan kecepatannya. Setelah saya selesai menyebrang, lampu untuk kendaraan bermotor masih menyala merah namun semua yang lewat mengabaikan dan tetap memacu dengan kecepatan tinggi, karena jalanan sepi.

Karena saya tidak sempat merekam atau mengambil gambar, maka saya mencari di internet dan mendapatkan video ini di youtube (bukan milik saya), silahkan disaksikan : http://www.youtube.com/watch?v=vistf-6lHEg

Kejadian siang ini mengingatkan saya akan kejadian beberapa kali sejak tahun lalu di bandara Soekarno Hatta, terutama di terminal 1. Sejak beberapa bulan lalu dipasang lampu penyebrangan jalan untuk dapat menyebrang ke areal parkir atau ke halte bus. Kejadian di Malioboro mungkin bisa ditentang dengan alasan masyarakatnya yang kurang paham, namun kejadian di bandara Soetta ini menurut saya lebih keterlaluan, mengingat orang-orang di bandara merupakan masyarakat golongan menengah-keatas yang seharusnya paham dengan hal demikian. Tapi nyatanya di bandara Soetta keadaannya lebih parah, terutama para pengendara mobil yang lewat. Sangat disayangkan mobil-mobil serta taxi-taxi dengan enaknya lewat saat lampu merah.

Fenomena di Indonesia ini sangat berbeda sekali di Singapura. Teringat pada waktu itu saya dan teman hendak menyebrang jalan, namun terlihat mobil sport melaju dengan kencang dari kejauhan. Zebra cross yang akan saya sebrangi tidak dilengkapi lampu penyeberangan karena hanya jalan kecil, sehingga kami memutuskan untuk diam dulu menunggu mobil itu lewat. Tapi yang terjadi adalah mobil tersebut langsung memperlambat dan berhenti pada jarak sekitar 20m sebelum zebra cross, dengan kata lain pejalan kaki diutamakan.

Dari fenomena ini kita bisa lihat bahwa kedisiplinan di negara kita masih kurang. Padahal dari kedisplinan ini banyak masalah-masalah yang kita hadapi bersama setiap hari dapat ditanggulangi, misalkan masalah macet atau yang sedang terjadi di Jakarta yaitu masalah banjir. Di luar masalah penyeberangan ini, saya juga melihat sendiri bagaimana para pengungsi korban banjir di Jakarta membuang sampah mereka ke genangan banjir yang ada. Kedisiplinan sangat mahal harganya di Indonesia.

Ketika kita sering menyalahkan pemerintah atas kinerjanya yang kurang baik, sepertinya kita harus berkaca kepada diri sendiri dulu, apakah kita sudah disiplin. Saya teringat fenomena sekolah, dimana prestasi sekolah lebih bergantung pada kualitas muridnya dibandingkan pengajarnya. Jika kita mengibaratkan sebuah negara menjadi sebuah sekolah, maka murid bisa kita ibaratkan sebagai warga dan guru-guru serta para pengatur kebijakan sekolah merupakan pemerintahnya. Ketika ada seorang guru yang etika dan mengajarnya tidak baik dan diprotes oleh banyak murid, tapi pasti ada saja murid yang bisa memiliki nilai yang baik dengan kedisiplinan mereka belajar sendiri. Sama, ketika negara kita ingin bebas dari berbagai masalah walaupun pemerintahan kurang baik asalkan kita mampu disiplin, masalah-masalah bisa berkurang bahkan tidak ada, seperti contohnya disiplin tidak membuang sampah di sungai sehingga tidak banjir, atau disiplin mengantri di jalanan dengan tertib agar tidak macet.

Ayo kita mulai membenahi diri kita, walaupun dari usaha yang kecil. Tularkan pada orang lain, karena walaupun hanya usaha kecil jika dilakukan orang banyak hasilnya akan menjadi sangat besar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun