“Sekali nulis berapa bang?”
“Buat bayar kuota (internet) darimana, bang?”
Beragam pertanyaan muncul ketika menjelaskan aktivitas saya menulis di Kompasiana. Ketika saya menjawab bahwa sama sekali tidak uangnya, hampir semua orang merasa heran.
“Koq mau bang?”
Siapa yang tertarik untuk melakukan pekerjaan secara gratis di era sekarang ini? Bayangkan, kerja tanpa mendapat uang sepeser pun malah hitungannya nombok. Bukan saja soal biaya internet tetapi ongkos transport atau uang makan.
Coba tanya Pak Bambang Setyawan, penerima 2 award di tahun 2016 itu. Berapa dana yang harus dirogoh dari koceknya sendiri ketika membuat sebuah reportase. Dari artikel-artikelnya kelihatan bagaimana mobile-nya kompasianer itu. Bisa hari ini di Cirebon, besoknya kembali ke rumahnya di Salatiga,lalu besok lusanya sudah posting dari Kutoarjo.
Masyarakat berpikir Kompasianer juga sama seperti wartawan. Memang tidak salah sih, karena apa yang dilakukan sama-sama mencari dan menulis berita. Mereka yang melek internet pun banyak yang tidak tahu apa itu Jurnalisme Warga. Kompasiana bahkan dikira Kompas.
Susah dimengerti memang, bahkan oleh keluarga sendiri. Bukan itu saja, oleh sesama blogger pun kita dianggap aneh. Silakan tanya kepada bloger copas dan bloger buzzer atau influencer. Karena ada prinsip setiap artikel yang diposting harus mempunyai nilai ekonomis.
Jika bukan karena uang, apakah menulis demi mencari kepuasan? Begini, ada sebuah kalimat bijak dalam Bahasa Inggris “Live is to give good impact”. Bisa diartikan beragam tetapi intinya bagaimana hidup dapat memberi manfaat bagi orang lain.
Belum lama kita membaca sebuah artikel yang viral, dimana ada seorang janda pejuang yang dulunya hidup di rumah yang mirip kadang hewan mendapat bantuan dari berbagai pihak. Silakan baca di sini. Begitulah, artikel tersebut ternyata berdampak secara luar biasa.
Ketika dulu menulis artikel tentang bom di sebuah Gereja di Medan (baca). Ada agenda yang harus ditunda karena meliput ke lokasi kejadian. Walau tanpa berita tersebut, media-media online sudah pasti memberitakan. Tetapi ada rasa ‘keharusan’ sebagai Kompasianer yang tinggal di Medan untuk membagikannya kepada pembaca Kompasiana.