Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Metafisika Logosentris dalam Tantangan Derrida

23 Agustus 2014   19:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:46 2056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

…

ilmu pengetahuan sebagai konstruksi Ada part 4 (sebelumnya part 1 - part 2- part 3)

....

Bercermin pada filsafat kontemporer khususnya dekonstruksi Jacques Derrida

Jacques Derrida menginginkan konsep kebenaran tidak mesti bermakna tunggal, absolut, dan universal. oleh karenanya Derrida selalu bergairah untuk mendekonstruksi pemikiran modern (yang berkarakter logosentris - menggunakan typical cara berfikir systematik-terstruktur - hierarkis) yang selalu cenderung mencari bentuk kebenaran yang satu - tunggal - bersystem- berstruktur - hakiki - absolut

Filsafat modern (pemikiran) barat yang logosentris identik dengan kebenaran yang tunggal, mutlak, dan absolut. melalui dekonstruksinya, Derrida ingin menyampaikan pesan bahwa kebenaran lama bisa dibongkar dan hal-hal alternatif lainnya bisa menjadi ‘kebenaran’ baru.

…………

Ini adalah sebuah persimpangan jalan di dunia filsafat yang lalu memisahkan era filsafat klasik - modern yang masih orientasi ke cara berfikir konstruktif - logosentris dengan era filsafat kontemporer yang lebih kepada cara berfikir bercorak spekulatif yang mengutamakan individualitas (pandangan individualistik - bukan mencari pandangan tunggal yang disepakati secara umum) - pluralitas (keragaman - bukan kesatuan pandangan).dan mengapa disebut ‘spekulatif’ .. karena tak berpijak pada konsep ‘kebenaran hakiki-tetap-pasti’ yang berstruktur - bersystem - memiliki konstruksi

………………………………

Filsafat kontemporer - post mo adalah tempat bertemunya beragam arus sungai filsafat, muara terakhir dari ribuan tahun perjalanan panjang filsafat,dan bila kita runut sedari awal mulai dari para filsuf klasik Yunani maka, apakah kita telah bisa melihat bahwa filsafat telah berhasil mewujudkan gambaran adanya bangunan konsep kebenaran yang menyeluruh dan menyatu (?) … ataukah bangunan konsep seperti itu tidak pernah terwujud disana .. dan, mengapa tak pernah dapat terwujud (?) …

………..

Derrida selalu mempermasalahkan anggapan anggapan yang dianggap absolute pada sebuah teks maksudnya anggapan anggapan tersebut tidak mengacu pada makna yang bersifat final. sebagai contoh : di awal saya pernah menyebut bahwa untuk memahami Ada secara menyeluruh kita harus bercermin pada peralatan berfikir yang ada pada manusia : dunia indera - akal - hati.nah mengapa dalam rangkaian kalimat tersebut saya menyebut akal-hati (?) karena tentu saja sebelumnya saya telah memiliki anggapan yang bersifat final-absolut dari dua teks tersebut yang gambaran final tentang dua teks kata tersebut tentu saja saya dapat dari berbagai sumber yang beragam : agama - filsafat - pengalaman hidup (dalam menggunakan akal-hati) serta dari berbagai sumber lain yang tentu sulit untuk di lacak kembali satu persatu.dengan kata lain bagi saya dua teks kata tersebut sudah memiliki trace - jejak panjang yang menyejarah.sehingga makna nya sudah saya anggap final.sehingga saya sering menyebut bahwa akal itu adalah peralatan berfikir systematik dan hati adalah peralatan berfikir yang berfungsi untuk menangkap essensi-pengertian terdalam.

Nah dengan masuk ke dunia filsafat kontemporer dan bertemu dengan gagasan Derrida maka apakah misal saya harus merasa perlu untuk mendekonstruksi ulang makna dari dua teks kata yang sering saya pakai berulang ulang dalam banyak artikel saya tersebut (?)

Analoginya,saya sudah menyiapkan se abreg material bangunan mulai dari semen,pasir,bata, kayu,besi, keramik dlsb. tetapi sang insinyur meminta saya untuk memeriksa ulang kembali seluruh peralatan yang akan dijadikan bahan bangunan itu satu persatu,memeriksa kandungan semennya,kandungan pasirnya dlsb. maksudnya mungkin baik - untuk memperoleh adonan semen yang tepat,kualitas pasir yang terbaik, tetapi pembangunan akan terhambat bahkan bisa terhenti apabila tak pernah ada kesepakatan dan kesesuaian antara bahan yang diinginkan dengan bahan yang ada

Teks-teks yang saya gunakan untuk berfikir - untuk berkomunikasi dan untuk membuat artikel adalah teks yang sudah menyejarah bagi saya - sehingga bersifat final - tertancap di lubuk hati yang terdalam,sehingga bila saya harus mendekontruksikannya kembali maka pemahaman siapa-hati siapayang harus saya gunakan sebagai referensinya (?)

Atau, apakah seluruh teks kata yang telah ada dalam memory saya yang telah memiliki jejak yang menyejarah itu harus ditata ulang kembali mengikuti gagasan Derrida (?) .. nah masalah yang rumit - pelik akan terjadi apabila tiap orang ternyata tidak setuju dengan pemaknaan tertentu pada beberapa teks yang tersedia.misal,saya menggunakan teks - teks ‘akal-hati’ dalam artikel saya untuk membangun pengertian terhadap kalimat yang saya ungkapkan dan secara keseluruhan terhadap bangunan konsep yang ingin saya gambarkan, tetapi lalu, bagaimana kalau pembaca tidak sepakat menerima makna teks sebagaimana yang melekat dalam fikiran saya itu,lalu bagaimana kalau pembaca akhirnya memilih membangun makna sendiri sendiri atas teks kata ‘akal - hati’ itu misal ?

Itulah mega proyek metafisika seperti konsep kebenaran menyeluruh - menyatu - konstruktif berdasar cara pandang logisentris - menggunakan akal, yang diimpikan para metafisikus klasik ibarat upaya membangun sebuah bangunan besar yang tak pernah jadi jadi karena bahan bahan yang tersedia selalu dipermasalahkan dan repotnya adalah apabila bahan yang diajukan lalu menjadi berbeda beda antara satu dengan yang lain,misal si A ingin semen merk X - si B ingin semen merk Z dst. dan tak pernah ada kesepakatan mana yang harus dipakai, lalu kapan bangunan itu bisa akan selesai secara utuh (?)

Para filsuf dari berbagai generasi menyumbang bahan bagi terbentuknya konsep kebenaran utuh-menyeluruh tetapi dalam filsafat kontemporer semua itu seolah harus melewati pemeriksaan para dekonstruksionis yang bahkan akan memeriksa kembali makna dari tiap teks yang dibawa-yang ada didalamnya,masalahnya, bagaimana kalau tak pernah terjadi kesepakatan makna dan para filsuf kontemporer memilih untuk menghentikan mega proyek metafisika logosentris itu, membubarkannya dan memilih permasalahan filsafat diserahkan kepada pandangan masing masing individu - kepada pluralitas (?) .. inikah salah satu alasan mengapa metafisika logosentris ini tak lagi terlalu banyak dibicarakan dalam dunia filsafat kontemporer (?)

Derrida mengkritik logo sentrisme dan karakter berfikir yang bersandar kesana,tetapi itulah resiko manusia yang diberi akal fikiran adalah ia pasti akan berfikir systematik-mekanistik-tertata-konstruktif-terstruktur, itu adalah konsekuensi manusia berakal terlepas apakah manusia kelak akan menggunakan cara berfikir akal nya itu sebagai landasan berfikirnya atau tidak, sebab tidak sedikit orang yang tidak memakai cara berfikir konstruktif itu dan lebih cenderung ke cara berfikir spekulatif (bentuk pemikiran tak tertata-tak terstruktur-tidak memiliki bangunan konstruksi yang terpadu ).sebagai contoh ketika seseorang memiliki pemikiran bahwa segala bentuk wujud terdesain bisa lahir secara kebetulan tanpa peran sang pendesain maka tanpa sadar ia telah jatuh ke cara berfikir spekulatif karena tak ada konstruksi ilmiah berstruktur yang bisa mendukung pandangannya tersebut,nah ketidak pedulian pada konstruksi ilmiah-kepada struktur adalah karakter cara berfikir spekulatif

Akal meniscayakan adanya kebenaran yang bersifat mutlak-absolut,mengapa (?) karena akal melihat bahwa konstruksi untuk membangun konsep itu ada dalam realitas kenyataan semisal adanya hukum kehidupan pasti yang bersifat tetap-baku-hakiki-tak bisa diubah oleh siapa pun-kapan pun-dengan cara apa pun,misal : adanya siang-malam,kehidupan-kematian, yang muda menjadi tua,adanya sehat-sakit,bahagia-derita-sebab-akibat,benar-salah,baik-buruk, dlsb. dan itulah adanya karakter akal dalam alam fikiran manusia dan konsekuensi manusia yang menggunakan akal diantaranya adalah ia akan menemukan bentuk konsep konstruktif seperti itu,dan berbagai bentuk konsep lain yang memiliki konstruksi ilmiah berstruktur,tentu lain bila yang digunakan hanya sekedar pemikiran spekulatif (jalan fikiran tak berstruktur)..

Dan dalam filsafat klasik karakter penggunaan akal - cara berfikir systematik itu masih kental - masih terlihat diantara mereka para failosof nya,sehingga masih ada yang mencari bentuk konsep kebenaran konstruktif-menyeluruh-essensial. nah kita bisa memotret jejak pemikiran manusia sampai ke era filsafat kontemporer khususnya sejak era Derrida, apakah cenderung semakin konstruktif atau makin spekulatif,apakah makin universalistik atau makin individualistik (?)

Dan mengapa agama sangat menekankan penggunaan cara berfikir akal (logo sentrisme) karena konsep kebenaran Ilahiah yang bersifat konstruktif hanya akan bisa ditemukan dengan cara berfikir akal-cara berfikir terstruktur bukan dengan cara berfikir spekulatif atau bukan juga dengan cara berfikir empiristik semata

Dalam pandangan Derrida, sesuatu yang ‘ada’ bersifat majemuk, tak berstruktur, dan tak bersistem, hingga tak bisa sekonyong-konyong dibenarkan melalui kata, tanda, dan konsep tunggal.

Menurut saya hal itu tak sepenuhnya mutlak benar,sebagai contoh, bila saya menyebut adanya ‘hukum kehidupan pasti’ untuk menggambarkan suatu yang tetap - hakiki - berstruktur - bersistem seperti adanya : siang-malam,kehidupan-kematian,yang muda menjadi tua,kaya-miskin dlsb. maka saya menggambarkan kehadiran Ada yang berstruktur-bersistem sehingga kata-tanda atau konsep apapun yang berusaha untuk menggambarkannya tetap tak akan bisa merubah essensi nya

Itu sebab dalam agama ada konsep kebenaran hakiki karena konsep agama mengacu kepada hal yang bersifat tetap-pasti seperti hukum kehidupan pasti itu bukan kepada hal hal yang bersifat tak pasti-relatif-spekulatif-temporer

Cara Derrida menarik makna teks lebih ke ranah kemajemukan - keluar dari konsep tunggal-melepaskan diri dari system-struktur bisa bermakna ganda,bisa positif dan juga bisa negative,positif nya membuka pintu ke arah kebebasan memaknai - kekayaan tafsir tetapi negatifnya adalah pemahaman manusia terhadap adanya konsep kebenaran menyeluruh - menyatu - konstruktif - hakiki bisa malah menjadi kabur sebab pertama,tiap orang dibiarkan bermain dengan tafsiran-permainan makna nya sendiri sendiri,dan kedua konsep absolut ini bersifat tunggal tidak bergantung pada pemaknaan pemaknaan yang dibuat manusia

Sebagai salah satu contoh cerminnya adalah hukum kehidupan pasti itu satu dan berlaku mutlak untuk keseluruhan umat manusia apapun ragam bangsa-agama nya dan apapun pandangan - tafsiran manusia terhadap nya maka hukumkehidupan pasti hakikatnya tetap otonom : tetap bersifat pasti-hakiki

Karena adanya sesuatu yang dianggap besifat tetap-hakiki itulah maka yang selalu diimpikan para metafisikus sejati adalah mencari gambaran konsep kebenaran menyeluruh-mutlak-menyatu yang menjadi konstruksi Ada atau yang melandasi Ada bukan sekedar ‘kebenaran’ berdasar tafsiran tafsiran manusiawi yang beragam yang datang dari isi kepala yang berbeda beda

Akhirnya cara Derrida ini seperti mengembalikan filsafat ke wilayah relatifisme yang dahulu kala menjadi landasan cara berfikir kaum Sopis yang mati matian dilawan oleh Plato,sehingga kalau di zaman ini masih ada Plato maka kemungkinan besar bisa jadi ia akan mati matian pula melawan pemikiran Derrida yang menurutnya mungkin akan disebut sebagai jalan menuju relatifisme era baru

…….

Sehingga ibarat melihat bangunan yang sebenarnya belum jadi Derrida bukannya ingin memperkokoh dan menyempurnakannya tetapi cenderung ingin mempretelinya kembali, untuk memeriksa satu demi satu material pembentuknya.pertanyaannya adalah : setelah dipreteli itu apakah ia akan kembali membangun nya kembali secara secara utuh atau untuk membiarkannya nampak tergeletak menjadi acak dan diambil siapapun yang ingin mengambilnya (?)

Mungkin ia cenderung lebih suka orang orang melihat kebenaran difahami secara plural ketimbang mengarahkannya kepada mencari bentuk kebenaran tunggal yang konstruktif

Sebuah teks-kalimat memang akan memiliki banyak makna misal teks kalimat ‘benar-salah’ itu makna nya bisa berbeda beda antara menurut kaum agamawan-kaum materialist-pluralis-empiris-rasionalist dst.nah Derrida cenderung lebih suka membuat makna nya menjadi majemuk-beragam tanpa mengarahkan manusia ke mencari konsep benar-salah yg satu - bersifat hakiki - yang sebenarnya.sedang agamawan akan cenderung mengarahkan manusia memperoleh gambaran benar-salah yang satu-hakiki

Atau ibarat melihat lukisan wanita telanjang,Derrida ingnin membiarkan sang pengamat memaknainya secara berbeda beda sedang pandangan agama ingin mengarahkan pada satu pandangan bahwa dari sudut pandang manapun manusia melihat sebuah ketelanjangan adalah merupakan suatu yang tak baik untuk dipamerkan atau mengarahkan manusia untuk memandang hal itu sebagai suatu yang bersifat negative

………………….

Dekonstruksi Derrida memang nampaknya telah menjadi jalan untuk mendukung lahirnya gairah pluralitas pemikiran dan penyikapan dalam berbagai bidang kehidupan berdasar cara pandang yang berbeda tentunya, tetapi itulah kekuatiran besar para metafisikus sejati termasuk didalamnya para agamawan adalah manusia kehilangan arah-fokus mencari kebenaran sejati-yang sesungguhnya yang pastinya menurut cara pandang logosentris hanya mungkin ada satu.para metafisikus sejati kuatir manusia di era kontemporer tidak lagi memikirkannya kembali karena terlalu asyik masuk dengan pemikiran pemikiran jndividualistik-spekulatif nya sendiri

………………….


Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun