Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Febri Diansyah dan Strategi Memilah Ilmu Pengetahuan dengan Emosi

23 November 2017   13:22 Diperbarui: 23 November 2017   14:37 3014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Images : Gatra news

Saya kagum dengan sosok Febri diansyah jubir KPK karena penampilannya dalam tiap perdebatan yang bersangkutan dengan masalah hukum terkait eksistensi kinerja KPK tentunya nampak selalu 'dingin' setidaknya dibanding dengan yang menjadi lawan lawan debatnya yang terkadang nampak tak kuasa menahan pengaruh gejolak emosi perasaannya dan mengungkap pendapatnya dengan emosi yang kadang cenderung meledak ledak.

Artinya beliau sudah bisa memisahkan antara unsur ilmu pengetahuan (terkait hukum) yang harus ia ungkapkan dengan unsur emosi, betapapun misal secara pribadi beliau juga menaruh emosi pribadi terkait orang orang tertentu yang tengah disidik KPK.karena unsur emosi itu walau andai demikian tinggi tensi nya ia tetap bukan bagian substansial dari ilmu pengetahuan.sehingga bila ada orang yang mengungkapkan sesuatu dengan emosi yang meledak ledak maka tak selalu lantas ucapannya itu paralel dengan kebenaran.tetap akan selalu ada sekat antara kebenaran dengan unsur perasaan betapapun manusia merasa sebagai 'berada dijalan yang benar'.kebenaran tetaplah akan selalu saling berkelindan dengan ilmu pengetahuan sebagai konstruksinya atau sebagai element yang membentuk nya.sebab itulah ilmu pengetahuan yang mengkonstruk kebenaran itu harus kita ungkapkan dengan 'dingin' tanpa gangguan pengaruh rasa perasaan.

Dengan kata lain,sehingga ketika ilmu pengetahuan diuraikan maka idealnya emosi tidak boleh ikut campur dan apalagi hingga menunggangi.artinya dalam suatu perdebatan utamanya dimana tiap argumentasi diadu dan dikonfrontasi satu sama lain maka itu tak boleh berubah menjadi perang yang bernuansa emosi tinggi karena bila tensi emosi yang tinggi yang lebih mengemuka maka kebenaran yang menjadi substansi yang seharusnya dicari menjadi sulit dilihat dan ditemukan.

Kalau sebelum masuk arena perdebatan perasaan sudah terkondisi pro kepada membela si X atau si Y maka memang akan menjadi sulit menerima pandangam orang lain yang berlawanan dengan pandangannya.coba saja lihat pengacara yang membela seorang yang didakwa korup atau terkait pidana lain misal yang sebelum masuk arena perdebatan mereka sudah memposisikan diri sebagai pembela sang klien maka sulit bagi mereka menerima pandangan orang lain yang berlawanan dengan misinya sebab yang mereka cari mungkin bukan semata kebenaran tetapi kemenangan bagi kliennya.

Dengan kata lain,kebenaran akan menjadi suatu yang sulit ditemukan apabila sebelumnya dibaliknya ada motivasi yang salah yang telah ditentukan terlebih dahulu dan lalu perasaan mengikuti motivasi negativ itu.misal motivasi membela seseorang agar tidak tersentuh hukum atau agar tidak terjangkau pemeriksaan,sebab yang benar adalah seseorang itu harus mau untuk diperiksa tangan hukum terlepas dari apakah ia memang bersalah atau tidak.

Mengapa perdebatan hukum diantara para pakar hukum seputar Setnov menjadi nampak demikian rumit dan ikut menguras emosi publik misal ? .. Padahal filosofi hukum terkait Setnov itu sederhana : 'datang ke pengadilan dan buktikan andai tidak bersalah dan terima hukuman andai salah'.tetapi ahli hukum pun terkadang masih belum memahami prinsip demikian dan malah membuat siasat hukum yang rumit hanya untuk agar seorang terhindar dari pemeriksaan dan lalu tak kuasa menghindar dari tekanan emosi nya sendiri karena motifnya adalah mencari kemenangan-bukan kebenaran.

Memang sulit menerima kebenaran kalau emosi sudah menguasai diri.itu sebab dalam suatu perdebatan apapun harus bisa memilah antara ilmu pengetahuan sebagai pilar kebenaran dengan unsur emosi.bila emosi yang lebih menguasai dan menjadi kendaraan dari tiap argumentasi maka disamping argumentasi bisa berantakan juga misi mencari kebenaran bisa gagal, karena kebenaran itu adalah berada di wilayah yang otonom dari unsur emosi betapapun secara emosional seseorang mengklaimnya.dengan kata lain,bila seseorang sudah mencampuradukkan ilmu pengetahuan-kebenaran dengan unsur emosi maka biasanya ia sudah memiliki kepentingan yang bersifat pribadi,walaupun kepentingan pribadi itu tak selamanya salah atau buruk,bisa baik misal kepentingan mencari kebahagiaan atau keyakinan.

Emosi itu ada-menguasai diri diantaranya karena sebelum masuk arena perdebatan seorang peserta secara emosional sudah memposisikan diri berfihak pada satu kutub,sebab itu orang yang dalam perdebatan mengungkap pandangannya dengan cenderung emosional maka itu sebenarnya dapat terindikasi dibalik argumentasinya itu ia memiliki kepentingan yang bersifat pribadi terkait keberfihakannya itu dan bisa bukan semata mencari kebenaran.

Dalam perdebatan theis-atheis misal kadang unsur emosi sering menguasai masing masing fihak terlebih dahulu padahal menyangkut perdebatan diantara mereka seharusnya unsur emosi itu disisihkan mengingat dari perdebatan diantara mereka itu kita bisa mengambil banyak inspirasi untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih banyak tentang masalah ketuhanan.

Teis sering emosi karena sebelumnya secara emosionsl memposisikan diri pada imannya demikian pula atheis secara emosional pada ideologinya dan itu adalah suatu yang manusiawi tentunya.dalam pengalaman dimasa lalu ketika berdebat dengan atheis-agnostik saya pun terkadang merasakan kuatnya dirasuki perasaan emotif utamanya ketika mereka mulai menyerang wilayah pribadi dan bukan lagi berbicara perihal substansi dari yang dibicarakan. padahal bila misi utamanya memang mencari kebenaran dan bukan mencari kemenangan atas yang menjadi lawan debat maka unsur unsur emotif itu sebaiknya memang dikepinggirkan.

Demikian pula baik teis maupun atheis tidak perlu takut dengan aggument argument dari orang yang berlawanan pandangan dengan mereka.teis misal tak perlu dihantui ketakutan atau merasa fobi dengan buku buku karangan orang atheis atau dengan deskripsi pernyataan atheistik, mengapa ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun