Dalam satu kesempatan, penyair ceking kelahiran Sukabumi ini pernah berujar, puisi adalah perkara bunyi.
Dalil itu meluncur ketika dia diduetkan dengan Sapardi Djoko Damono dalam satu dialog yang dipandu oleh Najwa Shihab. Tentu saja, bunyi dimaksud bukan sembarang bunyi. Bunyi bukan saja bisa terdengar seperti puisi yang sedang menyanyi; bunyi yang menciptakan efek estetis terhadap tubuh puisi. Bahkan, boleh terdengar seperti mantra sebagaimana puisi Sepisaupi-nya Sutardji Calzoum Bachri.
Tentang puisi sebagai bunyi ini, saya kira, ia bukan "semata pergulatan pada wilayah estetis" agar indah dibaca-dengar. Elemen estetis menjadi lebih menghentak bila dikombinasikan dengan kapasitas refleksif dari puisi. Kapasitas refleksif pengarang yang daripadanya, pembaca dituntun pada pemaknaan baru atau yang lebih segar tentang satu peristiwa, dunia manusia atau dunia benda-benda. Dengan cara itu, pembaca dan pengarang sedang sama-sama terlibat dalam usaha memaknai ulang atau menunda pengertian terhadap materi dalam puisi yang selama ini terlanjur beku dan kaku.
Dalam proses memaknai ulang (reinterpretasi) inilah, ada pendapat yang mengatakan bahwa puisi atau sastra secara umum memiliki daya literer untuk memungkinkan munculnya "emansipasi". Emansipasi yang, pada tahap awal, bekerja sebagai provokasi terhadap pikiran dan sistem makna individu terhadap eksistensinya juga dunia sehari-hari dan dari proses ini dimungkinkan terciptanya tindakan harian yang lebih menghargai nilai-nilai baik.
Bagaimana persisnya refleksi puitis itu dikerjakan? Refleksi yang seperti apa?
Saya akan ceritakan satu puisi yang berjudul Pulang Mandi. Pulang Mandi adalah salah satu karya Joko Pinurbo yang dimuat dalam buku Sehimpunan Puisi Pilihan (Grasindo, 2016).
Pulang Mandi: Jakarta, Perantauan Tubuh dan Pemulihan Jiwa
Pulang Mandi
Lama minggat ke Jakarta dan tak pernah ada
kabar-beritanya, tahu-tahu ia muncul di depan pintu
dan berseru, “Ayo kita mandi!”
Wajah yang penuh jahitan, tubuh yang hampir rombengan
nyaris tak terbaca kalau tak ia tunjukkan
sepasang tato di pantatnya.
“Berbahagialah orang yang berani mandi,” aku bersabda,
“sebab ia akan menemukan tubuhnya sendiri.”
Maka dalam bahagia mandi ia kelupas karat waktu
pada tekstur hidupnya, kerak kenangan
pada tipografi nasibnya.
“Sakit!” ia menjerit. “Berdarah!”
Mungkin sedang ia lepaskan pakaian kotor
yang lengket dengan tubuhnya.