Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama FEATURED

[Ngawur] Pertunangan Raisa dan Kebutuhan untuk Patah Hati

22 Mei 2017   20:33 Diperbarui: 6 September 2017   03:33 2305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasanya baru kali ini kabar pertunangan seorang biduanita dirayakan beramai-ramai di jagad digital sebagai Hari Patah Hati Nasional. Sebuah perayaan yang "keterlaluan" mengingat ini terjadi di bulan Mei, bulan yang "sakral". Bulan mengenang momen Pendidikan dan Kebangkitan Nasional. Belum lagi bila kita mendekatkan pandangan pada peristiwa-peristiwa politik kebangsaan yang mencemaskan. Politik yang masih dipenuhi oleh polarisasi dan ketegangan. Politik yang menghapus pertemanan dan menyediakan diri bagi pembinasaan. Politik yang pada akhirnya membuat generasi 45 menahan kesedihan mereka di balik nisan yang sepi. <--- Woooh, kontekstualisasi yang sereem bangeeed.

Terlepas dari perkembangan politik kekinian yang jelas menyedihkan generasi pelahir Republik, patah hati adalah momen yang dihindari sejauh mungkin, sebisa-bisa mungkin. Tidak ada dalam sejarah ketika patah hati, manusia sadar tiada dituntut tabah melewati sesak sedihnya dimana kewarasan sering menjadi pertaruhannya, bukan? 

Tidak sedikit yang memilih jalan bunuh diri. Tiada sedikit pula yang bisa melampaui dan menemukan "kondisi-kondisi" emansipasi individualnya. Menemukan pencerahan-pencerahan diri. Eh tapi, kita tidak bicara tentang jiwa-jiwa agung, manusia-manusia luhur dalam sejarah fana manusia yang disebab siksa hati patah lantas menjadi bijak bestari. Untuk kebutuhan kekinian yang serba bercampur gak karu-karuan ini, yang saya maksudkan sederhana saja: mengalami pencerahan paska-patah hati adalah menjadi tahu dan tegas membedakan mana ilusi dan mana realitas.  Mana yang seharusnya menjadi perjuangan, mana yang semestinya hanya permainan serupa tipu daya iklan.

Di persimpangan mana yang ilusi dan mana yang realitas itulah, saya teringat pada tulisan lama. Tulisan itu berjudul Mengapa Vonny Cornellya, Bukan Kamu?

Membaca ulang tulisan jenis ngawur edisi awal, saya disadarkan bahwa setiap industri idola selalu memiliki "kekasihnya", setiap kekasih memiliki zamannya. Setiap zaman hidup dari pemujanya. Mereka yang hebat adalah yang bisa memiliki kekasih di setiap peralihan zaman.

Ambil misal begini. Biduanita Teresa Teng (1955-1995).  Teresa Teng adalah biduanita legendaris Taiwan. Dia bukan saja piawai menyanyi dalam bahasa Mandarin atau Inggris. Ia juga merekam lagunya dalam bahasa Indonesia. Menurut wikipedia, perempuan pelantun balada romantis ini meninggal disebabkan serangan asma dalam usia yang masih tergolong muda, 42 tahun. Kematiannya diperingati layaknya pahlawan nasional Taiwan. 

Ketika Teresa sedang jaya-jayanya, Raisa jelas belum lahir. Ketika Raisa lahir, tahun 1990, saya sudah mulai belajar pakai sendal jepit dan jins butut dengan rambut bergaya Gomas (Gondrong Malaysia) di ruang belajar dengan prinsip Startegi Kebut Semalam. Saya belum tahu siapa itu tante Teresa. Dan jelas tidak mendapat isyarat jika Raisa akan seterkenal sekarang ini. Yang saya tahu saat itu hanyalah Vonny Cornellya hingga akhirnya industri idola menepikannya dari ruang tontonan. Bahkan ketika Dian Sastro muncul sebagai kekayaan kultural Nusantara yang dibentuk dari silang (gen) budaya, saya masih menguatkan hati agar tidak pindah. Paling minimal, tidak terbagi dua. 

Ternyata urusannya tidak sesederhana mencari uban di kepala yang makin meranggas licin. Saya sempat juga terguncang, terjebak dalam dilema. 

Walau begitu, dilema puja idolasional yang saya alami hanyalah pergumulan level teri. Sesudah melakukan studi perbandingan secara kasar, saya tahu betapa tidak pentingnya pergumulan di depan pesona Vonny. Di Kompasiana ini, di zaman digital ini, di industri musik yang ter-artifisial intelligensi-kan ini, ada penggemar keras hati tante Teresa yang sekaligus juga jatuh hati pada Raisa (manifes atau laten, itu perkara kedua). Mungkin mereka--boleh kau katakan, jenis penggemar yang "beyond history"--menemukan "lubang patah hati karena kematian muda" pada kekinian yang Raisanism.  Artinya, di era Beyond Blogging, ada tenaga Beyond History yang bertahan!

Sementara itu, ada kasus yang pemuja idola yang lebih nasional.

Ada yang nge-fans berat pada suara-suara merdu biduanita tanah air era 70-90an. Sebut saja ada tante Dian Piasesa, Betharia Sonata, hingga Poppy Mercury dan Nike Ardilla. Sistem selera yang diacunya jelas balada romantis. Atau sendu-sendu mengiris. Sama sejenis tiga selera, kelompok yang nasionalis romantis ini juga mampu mengalami sejenis beyond history. Mereka bisa dengan luwes memindahkan "kesunyian karena ditinggal idolanya" kepada Raisanism. Bukan saja fleksibel, kelompok yang satu ini boleh memutasi kerinduan itu dengan kesenduan yang kini dan di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun