Mohon tunggu...
Titin Murtakhamah
Titin Murtakhamah Mohon Tunggu... profesional -

Merayakan kehidupan dengan riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wamena, Koteka, dan Alat Vital pada Pria

3 Desember 2012   07:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:15 12453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wamena, Koteka dan Evolusi Penis

Foto profil di atas diambil di Wamena, sekitar setahun lalu (Desember 2011). Saat itu saya mendapat kesempatan untuk pergi ke sana dalam rangka melakukan asistensi untuk program manajemen organisasi pada sebuah lembaga yang bergiat dalam isu kemanusiaa.

Perjalanan ke Wamena hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara, karena tidak ada transportasi darat yang cukup memadai. Saya terbang dari Jayapura menggunakan Trigana Air yang dapat dibeli sesaat sebelum penerbangan. Masyarakat di sana sepertinya sudah biasa melakukan perjalanan seperti ini, wira-wiri menggunakan pesawat layaknya naik bus. Namun jika mendekati Hari Natal, tiket pesawat Wamena-Jayapura pp menjadi sulit bahkan kadang harus membayar dua kali lipat di tangan calo. Sama dengan keadaan di Jawa dan sebagian besar kota lain di Indonesia jika menjelang hari-hari besar keagamaan.

Ini kali pertama saya berkunjung ke Wamena. Wamenaadalah sebuah distrik di Kabupaten Jayawijaya, Papua sekaligus merupakan ibu kota kabupaten tersebut. Di Wamena terletak lapangan terbang yang menghubungkan wilayah Jayawijaya dengan Jayapura. Wamena merupakan satu-satunya kota terbesar yang terletak di pedalaman tengah Papua. Wamena berasal dari bahasa Dani yang terdiri dari dua kata Wa dan Mena, yang berarti Babi Jinak atau babi piara??. http://id.wikipedia.org/wiki/Wamena,_Jayawijaya

Kota yang terletak di lembah Baliem dan dialiri oleh sungai Baliem serta diapit pegunungan Jayawijaya di selatannya memiliki ketinggian sekitar 1600 meter di atas permukaan laut. Begitu mendarat di Bandara Wamena, mata akan disuguhi pemandangan alam yang indah. Udara yang sejuk karena belum banyak polusi, jalan-jalan dan pertokoan cukup teratur dengan penduduk juga ramah. Menyusuri kota Wamena paling asyik adalah dengan jalan kaki di pagi atau sore hari, karena kita dapat secara detail mengetahui sudut-sudut kota. Atau jika terlalu lelah berjalan, kita dapat menggunakan becak yang banyak kita temui di sana. Menariknya, ongkos becak ditentukan oleh berapa kepala yang naik bukan per jauh-dekat perjalanan. Datang ke Wamena sebenarnya paling tepat adalah bulan Agustus karena ada festifal Lembah Baliem atau  perayaan perang-perangan  yang dapat kita nikmati, tentunya secara aman.

Kekhasan lain dari kota ini adalah masih banyaknya laki-laki yang berjalan di kota-kota dengan menggunakan koteka. Pertama kali melihatnya, saya sungguh berdecak dan ingin memotretnya atau setidaknya foto bersama. Namun seorang kawan memperingatkan untuk tidak melakukan itu, karena disinyalir mereka yang masih berpakaian demikian dan berjalan-jalan di kota atau nongkrong di depan warung atau pusat-pusat keramaian memang sengaja melakukannya untuk mencari uang. Selesai potret bersama, mereka akan meminta uang kepada kita dengan jumlah yang tidak tanggung-tanggung. Entahlah, tetapi saya memang menuruti nasehat kawan saya tersebut untuk tidak secara langsung memotretnya meski akhirnya saya berhasil juga mendapatkan gambar laki-laki berkoteka di sekitar bandara secara sembunyi-sembunyi.

Koteka adalah pakaian untuk menutup penis laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Papua. Koteka terbuat dari kulit labu air. Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Secara harfiah, kata ini bermakna "pakaian", berasal dari bahasa salah satu suku di Paniai. Sebagian suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya holim atau horim. http://id.wikipedia.org/wiki/Koteka

Penasaran, saya sempat membelinya di toko-toko cinderamata di Biak tahun 2005 dan mencobakannya kepada suami saya. Tentu saja, saya tergelak sekaligus takjub dengan pemandangan lucu suami saya dengan kotekanya. Dengan koteka, penis seperti terlihat berukuran sekitar 60 cm, berwarna kuning, melengkung ke atas  dan berukiran khas suku-suku pedalaman Papua. Yang terakhir saya beli koteka di Jayapura berukuran sekitar 25 cm yang pada ujungnya terdapat rambut hewan berwarna hitam untuk saya gantungkan di pintu depan rumah saya sebagai hiasan.

Tak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pemakainya. Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku-suku di sana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat. Namun demikian, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Suku Yali, misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang. Sedangkan suku Tiom biasanya memakai dua labu. Tiap laki-laki punya beberapa model, kadang merah atau kuning dengan ukuran, ornamen berbeda seperti meletakkan rambut hewan atau daun pada ujungnya. Tiap hari dia memilih model yang berbeda sesuai dengan suasana hatinya, seperti setiap hari kita memilih kemeja yang akan dipakai. Mereka merasa telanjang dan malu jika tak memakainya. Bagi kebanyakan kita, tentu saja berpikir bahwa sebenarnya mereka memang benar-benar telanjang dan bahkan membiarkan buah pelir mereka terlihat.

Sejak 1950-an, para misionaris mengkampanyekan penggunaan celana pendek sebagai penganti koteka. Ini tidak mudah. Suku Dani di Lembah Baliem  saat itu kadang-kadang mengenakan celana, namun tetap mempertahankan koteka. Pemerintah RI sejak 1960-an pun berupaya mengurangi pemakaian koteka. Melalui para gubernur, sejak Frans Kaisepo pada 1964, kampanye antikoteka digelar. Pada 1971, dikenal istilah "operasi koteka" dengan membagi-bagikan pakaian kepada penduduk. Akan tetapi karena tidak ada sabun, pakaian itu akhirnya tak pernah dicuci. Pada akhirnya warga Papua malah terserang penyakit kulit. http://id.wikipedia.org/wiki/Koteka

Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari bahkan dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah. Koteka banyak dijual di toko cinderamata yang tersebar di beberapa kota di wilayah Papua. Namun di kawasan pegunungan, seperti Wamena koteka masih dipakai. Udara sedingin di Wamena ternyata tidak menghalangi mereka untuk tetap mengenakan koteka. Di daerah lain yang udaranya dingin, biasanya masyarakatnya mengenbangkan pakaian yang lebih tertutup dan hangat. Tetapi di Wamena, ternyata itu tidak berlaku. Saya jadi bertanya-tanya jangan-jangan penggunaan koteka memang erat kaitannya dengan kepuasan laki-laki dalam merancang sendiri penisnya daripada puas dengan hasil evolusi.

Jared Diamond dalam bukunya Mengapa Seks itu Asyik menjelaskan bahwa koteka adalah penis palsu yang sedang ereksi dengan mencolok, yang menunjukkan apa yang ingin dipunyai laki-laki pemakainya. Ukuran penis hasil evolusi pada kita sayangnya dibatasi oleh panjang vagina perempuan. Koteka menunjukkan kita akan seperti apa penis manusia jika tidak terhambat oleh keterbatasan praktis tersebut. Yang masih menjadi perdebatan adalah siapa yang menjadi sasaran pengumuman kejantanan oleh penis. Kebanyakan laki-laki kiranya berasumsi bahwa yang akan terkesan adalah perempuan. Akan tetapi, perempuan mengatakan bahwa mereka cenderung terangsang oleh bagian laki-laki yang lain dan bahwa penampakan penis boleh dikata tidak menarik. Malah yang benar-benar terkesan dengan penis dan ukurannya adalah sesama laki-laki. Di kamar mandi umum, laki-laki sering membandingkan ukurannya.

Bahkan jika sebagian perempuan juga terkesan oleh penis yang besar bukan berarti bahwa sinyal tersebut hanya tertuju pada satu jenis kelamin saja. Ahli zoologi yang mempelajari hewan berkali-kali menemukan bahwa ornamen seksual punya dua fungsi yakni memikat calon pasangan dari lawan jenis dan untuk menunjukkan dominasi terhadap saingan berjenis kelamin sama. Dengan demikian, pertanyaan mengenai fungsi sinyal pada penis laki-laki dan sasaran sinyal tersebut (jika ada) belumlah terjawab.

Perbandingan dengan kera kerabat kita telah mengisyaratkan bahwa ukuran penis manusia melebihi kebutuhan fungsional dasar dan bahwa kelebihan ukuran itu boleh jadi berperan sebagai sinyal. Panjang penis yang sedang ereksi pada gorila hanya sekitar 3 cm, pada orangutan sekitar 4 cm dan pada manusia sekitar 12 cm, meskipun pejantan pada kedua spesies kera tersebut tubuhnya bisa lebih besar daripada laki-laki.

Kita beranggapan bahwa fungsi penis adalah untuk mengeluarkan air kencing, menginjeksikan sperma dan merangsang perempuan secara fisik tetapi menurut Diamond, fungsi penis bukan hanya masalah biologis yang dapat dengan mudah dijawab dengan percobaan biomekanis tetapi juga masalah evolusioner. Masalah evolusioner itu tergantung dalam berlipatgandanya ukuran penis manusia melebihi perkiraan ukuran penis leluhur selama 7 sampai 9 juta tahun terakhir. Perubahan demikian membutuhkan tafsiran fungsional dan historis. Penis, bagian ornamen  seksual laki-laki yang kita kenal itu ternyata masih menyisakan satu pertanyaan: kekuatan seleksi apakah yang menyebabkan pembesaran penis manusia dan mengapa ukurannya bertahan sampai sekarang. Kepada pembaca, silakan menjawabnya.

Dan, koteka  pertama yang saya beli 7 tahun silam sudah saya berikan kepada seorang kawan. Katanya untuk koleksi budaya, tetapi saya tidak bilang bahwa koteka itu pernah dipakai oleh suami saya.

Bacaan:

Jared Diamond, Mengapa Seks itu Asyik, KPG, 2007

http://id.wikipedia.org/wiki/Koteka

http://id.wikipedia.org/wiki/Wamena,_Jayawijaya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun