Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendaur Ulang (Sampah) Kesalahan

2 Desember 2019   16:24 Diperbarui: 2 Desember 2019   16:33 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay/goumaniwaed

Apa tujuan hidupmu? Apa yang telah kamu lakukan sekarang untuk mencapai tujuan hidupmu tersebut? Yakin sudah melakukan semua hal dengan sebaik-baiknya? Yakin sudah khusyu' mengamalkan segala bentuk peribadatan? Demi apa? Jika pada akhirnya segala laku pada akhirnya hanya mengagungkan kebaikan dengan menyombongkan diri di hadapan kesalahan. Bahkan, kesalahan nampak seperti najis hingga saling lempar kesalahan pun sering kali tak bisa dihindari.

Untuk apa kita menafikkan kesalahan jika karena berkah ataupun hikmah dari kesalahan itu, kita dapat mengenal kebaikan? Kesalahan bukanlah sampah yang mesti kita buang jauh-jauh. Agar tidak merusak pemandangan karena penuh dengan gambaran ketidakpantasan moral ataupun kehinaan akhlak. Agar tidak mencium bau busuk karena sampah-sampah kesalahan yang semakin menumpuk.

"Andai ini, andai saja. Manusia memperlakukan segala laku kesalahan seperti tumpukan sampah. Tidakkah akan lebih bermanfaat jika sampah itu kita recycle atau kita daur ulang?" Gus Welly tiba-tiba berbicara sendiri.

Bewol yang kebetulan sedang nglinting di dekat Gus Welly, secara spontan menjawab suara selamuran kawannya itu. "Kamu ini jangan aneh-aneh, mana ada segala laku yang tak nampak bernama kesalahan sanggup untuk kita daur ulang?"

"Lhoh, nyaut aja kamu, Wol! Emang apa yang menurutmu aneh? Apakah ada sesuatu yang tak nampak jika sebenarnya kita sendiri yang membuat sesuatu itu menjadi tak nampak dengan segala hijab-hijab tendensi diri yang meng-mukasyafah-i hati? Kecuali jika kamu paham jika ada dari yang tak nampak itu tidak perlu disampaikan kepada khalayak ramai, karena ketidaksiapan."

"Naaah, kalau kata-katamu seperti itu, baru cocok kamu saya panggil seorang Gus, hehehe..." canda Bewol. "Tentu saja aneh karena saya hanya mewakili suara mayoritas manusia yang masih butuh sesuatu yang nampak sebagai bukti yang nyata. Sedangkan kesalahan lebih banyak dimaterikan oleh manusia melalui penilaian-peniaian sepihak. Dan akhirnya, siapa yang paling banyak memiliki massa, dialah yang benar. Dari penjelasan tersebut, bagaimana kamu akan mendaur-ulang sampah kesalahan itu, Gus?" Lanjut Bewol menanyakan solusi atas keadaan yang pada umumnya sedang terjadi.

Benar bahwa pendidikan hanya mengajarkan cara untuk membedakan yang benar dan salah. Sebuah nilai dikatakan baik apabila nilai itu banyak memuat hal yang benar. Sedangkan sebaliknya, nilai yang buruk atau angka merah, berarti telah terjadi banyak kesalahan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaa ujian yang dilaluinya. Guru terkadang bertindak laku kejam terhadap muridnya, melebihi Tuhan yang Maha Pemaaf atas kesalahan-kesalahan hambanya dengan menawarkan solusi innama'al 'usrii yusroo (sesungguhnya bersama kesulitan terdapat kemudahan) atas segala ujian yang dilalui.

Yang berarti kemudahan dan kesusahan adalah pilihan jalan yang mesti diambil. Tapi, prasangka manusia yang berperan sebagai tim penilai atas pilihan jawaban yang kita ambil belum tentu sama dengan jalan yang telah dipilih. Terkadang, kemudahan yang dipikir baik, bisa diprasangkai sebagai sebuah kesalahan. Bahkan, pengorbanan diri dengan jalan kesusahan yang diambil dengan pertimbangan lebih banyak menyelamatkan yang lain, malah akan diprasangkai atau dianggap sebagai suatu kesalahan yang lebih besar oleh manusia.

"Dan yang lebih menakutkan adalah ketika prasangka manusia itu membodoh-bodohkan diri kita. Lalu bagaimana kita tidak berusaha untuk menghindari atau setidaknya meminimalisir yang sering disangka kesalahan?"

"Itulah awalnya mengapa pada akhirnya manusia berusaha menjadi baik, untuk menghindari prasangka manusia, sejawatnya, karibnya, bahkan keluarganya. Sebaik mungkin manusia selalu membangun citra diri agar menjadi baik dengan mengeliminasi kesalahan-kesalahan umum. Padahal di zaman sekarang ini, semua sudah terbalik. Yang dikata kebaikan justru lebih banyak mengandung kemunafikan sampai kemudharatan, sedangkan yang dikata 'salah' justru itulah kejujuran dan ketulusan cinta meski keterasingan dan kesunyian jalan yang dilaluinya."

"Mengapa manusia lebih takut kepada prasangka manusia daripada prasangka Tuhannya? Bukankah tanda iman adalah jika mereka tidak punya rasa takut dan tidak pula bersedih?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun