Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Find Me If You Can"

10 Agustus 2019   11:45 Diperbarui: 10 Agustus 2019   12:12 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang hidup pasti tidak bisa lepas dari perasaan mencintai sesuatu. Bahkan orang yang sering kita sangka tindakannya merupakan sebuah kejahatan, ternyata penjahat itu pun melakukannya masih dalam rangka mencintai. Entah demi keluarganya atau seseorang yang dia cintai, orang akhirnya rela menabrak batas demi sesuatu yang bernama cinta.

Apa kita sangka semakin banyak manusia-manusia ini memilki gelar-gelar ijazah sertifikasi resmi ataupun tidak resmi, lantas keadaannya semakin membaik? 

Apa iya, jika gelar-gelar itu mayoritas justru membuat suatu tendens terhadap diri kita sendiri? Sehingga, moral yang terbentuk disaat banyak orang yang terpelajar seharusnya menjadi lebih baik. Namun yang terjadi adalah berkebalikan dengan harapannya.

Ilmu itu keluar dari empat rumusan tentang kefahaman seseorang. Mereka keluar menjadi seseorang yang (sok) tahu bahwa dia mengetahui. Tapi, ini bukan menjadi sebuah persoalan yang besar apabila kita sanggup menjadi ruang atau tempat kepada orang-orang tersebut. Dengan berbagai tendensi keilmuannya ataupun jabatan pekerjaannya.

Yang jadi masalah adalah ketika kita tidak sanggup menampung orang-orang yang berbeda pendapat. Apalagi sampai saling mempertahankan kebenarannya masing-masing. 

Mengalah adalah solusi yang terbaik daripada menimbulkan gesekan-gesekan yang berkepanjangan. Bukankah disaat segala kebenaran takkan pernah ada jika kesalahan itu tidak pernah ada? Sama halnya dengan sebuah pengetahuan, tahu tidak akan pernah ada tanpa kita pernah mengalami ketidaktahuan.

Kenapa? Apa tujuan kita menuntut ilmu? Dapatkah hakikat itu?

Ketika samudera ilmu itu sudah diarungi, apakah semakin menjadikan kita pintar? Atau justru mengamankan diri agar seminimalisir mampu menghindari sebuah kesalahan? Apakah hanya demi keamanan diri sendiri pada akhirnya?

Apakah pernah ada sebuah surga, tanpa Tuhan menciptakan neraka? Dengan ancaman-ancaman apinya yang menyala-nyala. Prasangka atas api itu sendiri setidaknya dapat menjadi tolak ukur seberapa dalam kamu mampu menemukan kesejatian di dalam dirimu.

"Jadi menurutmu api itu tidak panas?"

"Lha, Nabi Ibrahim buktinya mampu bertahan di dalam kobaran api?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun