Mohon tunggu...
hartati bahar
hartati bahar Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Muda yang ingin menjadi Queen Bagi anak-anaknya

indahnya hidup bukan seberapa banyak orang mengenal anda, tetapi seberapa banyak orang bahagia mengenal anda:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menulis Terapi Rasa

1 Juni 2013   21:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:40 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1370095304937333578


”Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang.. dan sangat mungkin saya bekerja waktu itu. Namun saya pikir: buat apa uang tambahan dan kepuasanan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami sendiri kehilangan kedekatan pada anak sendiri? apa artinya ketambahan uang dan kepuasan professional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk sendiri pribadinya? Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah orang tua kehilangan anak, dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu”

Ini adalah sepenggal tulisan ibu Ainun yang saya baca dalam buku Habibie dan Ainun., banyak sih quotes lain yang berkesan tapi kalimat ini representatif ukuran kecerdasan Ibu Ainun.

Buku ini yang jadi buah bibir karena filmnya laris manis di negeri ini, dan ternyata filmnya dapat piala emas pula dalam Indonesia Movie Awards Tahun 2013. Sudah baca bukunya? Atau sudah nonton filmnya? Saya kok lebih suka sama bukunya, lebih mengharu biru. Film tak mampu menggambarkan rasa dan emosi secara keseluruhan seperti yang dikisahkan pada reportase ‘romantisme’ intelektualitas yang dituturkan oleh Bapak BJH ‘Romeo’ kisah ini; Ibu Ainun selalu mendampingi BJH saat memberikan persentase ilmiahnya bahkan Bapak BJH selalu melirik ke beliau saat menyampaikan orasinya, iIu Ainun begitu menginspirasi BJH di atas mimbar. Ibu Ainun juga ternyata rutin membaca Al-qur’an 1 (satu) juz per hari, Ibu Ainun dan BJH sering berkomunikasi tanpa kata menghayati pikiran dan perasaan tanpa bicara dan semua ini tak tergambarkan dalam film yang di sutradarai oleh Hanung Bramantio itu.

Buku memang bisa mengabadikan kisah dan rasa, menulislah maka kisah itu kan abadi sepanjang masa. Menulis memang terapi jiwa, berdialog dengan diri sendiri, merangkai kisah dan rasa dalam bait-bait kata bisa jadi obat dan terapi perasaan. Selibat pikiran dan emosi bisa tercurahkan dalam kata tanpa melibatkan orang lain maka menulis adalah pilihan. Kata dapat menjadi cermin ajaib akan kenangan pada kesunyian, kesedihan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Semua bisa tersimpul utuh dalam bait kata-kata.

Begitu banyak kisah di dunia ini,. dan setiap kisah pasti istimewa. Bukan saatnya lagi ‘berpikir tentang rasa’ kini saatnya ‘menulis tentang rasa’..[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun