Mohon tunggu...
fauzan abdurrahman
fauzan abdurrahman Mohon Tunggu... -

menjadikan kata untuk berkelana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bumiku yang Berbentuk Ubin Lantai Rumahku

8 Oktober 2018   00:22 Diperbarui: 8 Oktober 2018   00:57 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku ingin membayangkan apabila bumi ini berbentuk persegi. Bukan mengatakan bahwa bumi itu bulat seperti keyakinan kaum agamawan. Apalagi seperti anggapan para ilmuwan yang mengatakan bumi itu datar. Ah, kedua golongan ini semau-maunya menang sendiri dan mengganggap pendapatnyalah yang benar.

Tentu, aku bukanlah mereka. Dan mereka semua bukanlah aku. Ketika mereka semua memperebutkan siapa yang benar, biarlah aku bersama kesalahan. Asik bukan? Bahwa bagian kesalahan bisa menjadi milikku semua. Dan mereka, masih saja memperebutkan kebenaran. Malah, terjadi perang dan ntah berapa nyawa yang mereka habiskan demi kebenaran.

Betapa kehidupan mesti selalu mengalahkan satu sama lain. Mungkin, sebab itu lahirlah yang mereka namakan kemenangan. Namun, dibalik kemenangan itu berapa banyak orang yang menjadi pesakitan. Manusia-manusia yang terluka, jiwa yang menderita dan hati yang terluka. Begitulah kemenangan, selalu menyisahkan luka. Dan juga begitulah kekalahan, selalu ikhlas memberi kebahagiaan.

Tetapi, aku tak mau menyisahkan luka sebagai kaum pemenang dan tak sudi pula memberikan kebahagiaan sebagai kaum yang kalah. Maka, biarkan aku memeluk kesalahan ini secara mesra dan sempurna. Bagai kelam mencumbu malam. Bukankah dengan itu aku telah menjadi manusia yang sangat menjunjung tinggi toleransi, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI harga mati.

Baiklah, aku adalah orang yang ingin membayangkan bumi ini berbentuk persegi seperti ubin lantai rumahku. Yang memiliki empat sudut. Pada masing-masing sudut, aku ingin memberi mereka sebuah nama.

Sudut pertama, aku namakan sudut kebahagiaan dan kekuasaan. Dimana berkumpulnya semua kesenangan duniawi; harta, tahta, dan wanita. Sudut pertama ini banyak sekali manusia berkumpul dan berlomba-lomba untuk meraihnya. Juga, orang-orang yang mempertahankannya sehingga menghalalkan segala cara. Persis seperti yang pernah dikatakan oleh Machiavelli.

Sudut kedua, aku beri nama sudut penderitaan dan kesusahan. Sudut ini menjadi tandingan bagi sudut yang pertama. Karena kehidupan adalah medan pertandingan, bukan?. Di sudut ini adalah manusia-manusia yang tercampakkan dalam roda kehidupan. Adanya dianggap tidak ada. Bahasanya kaum marjinal. Hidupnya selalu dirundung derita dan susah. 

Makan sehari sekalipun sudah syukur tiada terkira. Bahkan banyak yang berpuasa hingga tiga sampai lima hari. Kerjaan mereka bermacam-macam. Ada yang menjadi pengemis di lampu merah, mengamen dari rumah ke rumah, mencari barang rongsokan dari rumah-rumah mewah, dan pokoknya mereka serba gembel serta tak karuan. Tapi jangan salah, mereka menjalani hidup sangat ikhlas tak punya ambisi seperti sudut pertama. Mereka tidak berlomba-lomba untuk menjadi kaya. Hidup mereka penuh dengan tolong menolong dan gotong royong terhadap saudaranya yang kesusahan. Bisa jadi begitu. Percayalah.

Untuk sudut ketiga, aku lebih suka memanggilnya dengan nama harapan. Di mana di sinilah letaknya sebuah harapan tentang kehidupan. Di sini berkumpul beragam macam karakter manusia. Ada yang shaleh, menjadikan hidup di dunia sebagai ladang untuk kembali ke akhirat kelak. 

Ia berharap di akhirat kelak bisa memperoleh tempat yang paling baik, surga. Ada juga mahasiswa yang berharap setelah lulus kuliah bisa bekerja di perusahaan ternama, kalau bisa di perusahaan asing. Gajinya lebih gede, begitu alasannya. Dan ada lagi pelacur yang setiap malam berharap agar ada seorang yang tulus mencintainya dan syukur-syukur mau menikahinya supaya tidak lagi melacur. Dan masih banyak lagi orang-orang yang memiliki harapan. Masing-masing berbeda. Bukankah ketika kita sekolah, seorang guru selalu menanyakan harapan hidup kita dan dari sana kita diajak untuk mengkhayalkan sebuah masa depan?

Kematian, begitulah nama yang ku berikan untuk sudut terakhir ini. Tak perlu takut. Ini hanyalah sebuah nama yang aku khayalkan tentang bumiku yang persegi. Dan kau juga tak perlu risau, semua yang bernyawa pasti akan menemuinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun