Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berdakwah di Medsos: Kebaikan, Sekat Sosial, hingga Radikalisme

11 Juni 2017   23:20 Diperbarui: 12 Juni 2017   21:12 4693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Maraknya dakwah dengan beragam pendekatan yang dilakukan oleh para juru dakwah (da’i) seakan memberikan kesan bahwa kegiatan dakwah mampu memperkuat solidaritas sosial, bukan menambah sekat sosial yang baru. Dakwah, sebagaimana yang ada dalam ajaran Islam, cenderung mengajak kepada kebaikan dan kedamaian, bukan mengajak permusuhan atau pertentangan. Namun, maraknya kenyataan bahwa dakwah ternyata dapat melahirkan berbagai macam sekat sosial atau bahkan menimbulkan perpecahan dan permusuhan, sungguh esensi dakwah sebagai ajakan ke arah kebaikan kemanusiaan, nyata-nyata telah menyimpang dalam pelaksanaannya.

Dakwah saat ini tidak lagi harus dilakukan secara konvensional, mendatangi tempat-tempat tertentu, melakukan ceramah agama dan face to face secara langsung dengan pihak lain. Geliat dakwah belakangan kian marak, merambah dunia jejaring sosial yang tanpa harus bertatap muka secara langsung. Dakwah dalam jejaring sosial—atau media sosial—terasa lebih banyak diminati dan hampir setiap orang siapa saja dapat mengikuti tanpa kesulitan. Setiap juru dakwah, biasanya sudah dibekali oleh keahlian “insting” media sosial, yang bisa saja bekerja sama dengan pihak lainnya, untuk mengunggah suara atau video ceramahnya ke berbagai media sosial. “Dakwah tanpa batas” memang di satu sisi sangat memudahkan setiap orang yang gandrung ceramah-ceramah keagamaan, namun di sisi lain, dakwah bebas ini terkadang justru bisa mengubah opini seseorang, membuatnya tidak nyaman, membanggakan kelompoknya sendiri (primordialisme) atau bahkan pada tahap tertentu bisa membuat seseorang menjadi lebih radikal.

Diakui maupun tidak, kondisi sosial yang tersekat-sekat akibat tajamnya perbedaan dalam pemahaman keagamaan masyarakat adalah akibat dakwah yang “menyimpang” dari konsepsi dakwah itu sendiri. Core values dari prinsip dakwah, yakni ajakan kepada kebaikan seringkali dilanggar oleh para juru dakwahnya sendiri sehingga justru dakwah sering kali menimbulkan masalah sosial baru. Tanpa harus mendefinisikan siapa saja yang melakukan dakwah seperti ini, publik pasti sudah lebih mudah merasakan dan mengukur, mana dakwah yang mengajak kepada kebaikan dan mana dakwah yang hanya menebar kebencian dan permusuhan.

Prinsip kitab suci al-Quran soal dakwah sudah jelas, bahwa dakwah semestinya dilakukan dengan cara baik, menyeru kepada kebaikan (mau’idzah hasanah) dan harus dapat memberikan manfaat kepada orang lain (bil hikmah). “Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan bijaksana dan perilaku yang baik…” (QS. An-Nahl: 125). Dengan demikian, dakwah dapat dilakukan secara kreatif selama tujuan yang dicapai adalah kebaikan dan kemanfaatan kepada manusia. Sebut saja, seorang anak muda lulusan Universitas al-Azhar Mesir, Hanan Attaki, mempunyai metode dakwah kreatif menyasar anak-anak muda agar mereka tidak melupakan untuk tetap menebar kebaikan dan kedamaian kepada sesamanya. Hanan, menggagas konsep Pemuda Berhijrah dengan metode pendekatan kepada komunitas-komunitas bermain, seperti sepeda BMX, musik underground atau skateboard.

Komunitas Pemuda Hijrah yang digagas Hanan, juga kerap menyebarkan konten dakwahnya di media sosial dalam bentuk suara, grafis atau video pendek yang menarik dan mengandung pesan-pesan moral kepada masyarakat. Semarak dakwah di media sosial pun tampaknya banyak dilakukan oleh beberapa penjuru dakwah yang konsisten menebar kebaikan dan tidak mengumbar banyak kebencian kepada pihak lain. Saat ini, komunitas yang dibangun Hanan mungkin sudah berjumlah ratusan ribu, jika melihat pada jumlah followers-nya di akun @pemudahijrah yang mencapai 402 ribu orang. Hampir setiap pengajiannya secara konvensional dipenuhi oleh anak-anak muda yang tertarik dengan gaya dakwah Hanan yang cukup unik.

Lain halnya dengan seorang anak muda yang justru merasa khawatir dengan kondisi umat Islam yang enggan memenuhi masjid terutama di waktu sholat Subuh. Arisakti Prihatwono dengan dua temannya, Hadi Salim dan Iman Rivani, justru menantang para pemuda muslim untuk melakukan sholat Subuh berjamaah selama 40 hari berturut-turut, lewat akun Twitter-nya, @pejuangsubuh. Kegigihan tiga pemuda ini berdakwah kepada kalangan anak muda patut diacungi jempol, karena kenyataannya masjid atau mushola kerap hanya diisi oleh orang-orang yang sudah tua ketika shalat Subuh dan hampir tak pernah ditemukan jama’ah-nya yang relatif lebih muda. Gerakan Pejuang Subuh ini jelas menginspirasi gerakan lainnya di sejumlah daerah untuk saling mengingatkan untuk menebar kebaikan, meramaikan masjid atau mushola, terutama di waktu subuh.

Walaupun tak dapat kita pungkiri, banyak sekali konten dakwah yang malah menebar kebencian dan permusuhan, terutama oleh mereka yang cenderung konservatif atau bahkan ekstrem. Kelompok ini juga secara viral telah menguasai media sosial dan telah membentuk opini-opini yang membangkitkan fanatisme berlebihan terhadap agama bahkan ada pula yang menjadi radikal. Publik tentu sangat khawatir dengan beberapa konten dakwah yang tidak mengajak kepada kebaikan, tetapi sebaliknya, menebarkan kebencian kepada pihak lain dengan cara menghujat, menyalahkan atau memfitnah kelompok tertentu sebagai “orang-orang menyimpang” seraya menetapkan kelompok mereka sendiri sebagai kelompok paling benar. Kelompok inilah yang disindir dalam al-Quran sebagai kelompok “pemecah belah” umat karena merasa bangga dengan kelompoknya sendiri. “Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)(QS. Al-Mu’minun: 53)

Saya cenderung menyebut mereka sebagai kelompok fanatisme agama yang ekstrem yang justru keluar dari prinsip-prinsip dakwah yang diajarkan oleh agama Islam. Kebanggan terhadap kelompok sendiri dan mengerdilkan kelompok lain adalah metode dakwah yang selalu mereka pergunakan sehingga tak jarang membentuk sekat-sekat sosial yang tajam dalam masyarakat. Pada tahap tertentu, kecenderungan fanatisme ini akan melahirkan pemikiran yang relatif radikal terhadap agama sehingga tidak hanya kelompok lain yang “disalahkan” oleh mereka, tetapi juga mereka yang memang berlatar belakang beda agama. Metode dakwah seperti ini, saya kira, tidak hanya melenceng dari konsep yang diajarkan dalam agama Islam, tetapi lebih jauh menciptakan sekat sosial, menjauhkan dari nilai-nilai kebenaran agama dan yang lebih parah adalah klaim kebenaran atas kelompoknya sendiri.

Metode berdakwah, baik secara konvensional maupun melalui media sosial yang menyimpang dari nilai dakwahnya, jelas akan melahirkan sekat-sekat sosial yang sulit direkatkan satu dengan yang lainnya. Konsep berdakwah harus jelas, memenuhi unsur ajakan kebaikan dengan cara memberi contoh yang baik kepada masyarakat, bukan memberi dampak buruk, baik itu permusuhan atau kebencian. Media sosial belakangan sering dimanfaatkan sebagai ladang berdakwah secara bebas sehingga kita sebagai penggunanya dituntut mampu memilah dan memilih konten dakwah yang berisi ajakan kebaikan dan menebarkan kedamaian.

Literasi dakwah sangat diperlukan melalui pemahaman yang kuat terhadap publik, bahwa dakwah harus memenuhi nilai-nilai moral yang ditularkannya, bukan menyuruh orang untuk membenci, menghujat, atau mendiskreditkan pihak lain. Berdakwah harus dilakukan secara bijak dan dapat memberi manfaat kepada orang lain, bukan memberi mudharat kepada pihak lain. Dakwah agama jelas harus membawa nilai-nilai kebaikan agama, bukan justru mengabaikan dan bahkan merusak kandungan nilai-nilai kebaikan yang ada dalam agama itu sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun