Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Alun-alun dan Demokrasi

24 Agustus 2017   16:07 Diperbarui: 24 Agustus 2017   16:22 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin sepintas tidak nyambung, ketika bicara alun-alun dan demokrasi, karena jelas keduanya merupakan entitas yang berbeda. Alun-alun lekat dengan lapangan luas, biasanya ada di sekitar kantor pemerintahan yang tentu saja milik pemerintah, sedangkan demokrasi adalah istilah yang seringkali terkait dengan sistem politik-kekuasaan. Namun bagi DPR, alun-alun dan demokrasi bisa menjadi "model baru" bagi proyek yang bisa menghasilkan uang, karena mereka ternyata telah mengusulkan proyek "alun-alun demokrasi" sejak 2015 dengan biaya 281 miliar. Entah apa maksudnya alun-alun ini dibuat, konon katanya sebagai wadah bagi penyaluran aspirasi rakyat yang ingin menyampaikan keluh-kesahnya kepada wakil mereka di parlemen. Jika demikian, itu namanya "alun-alun demonstrasi" bukan "demokrasi".

Lagi pula, orang yang ingin menyampaikan aspirasinya kepada wakil mereka di parlemen, sudah seharusnya tidak perlu difasilitasi untuk berorasi di alun-alun, karena mereka bisa langsung bertemu dengan perwakilan mereka di gedung parlemen secara terhormat. Bukankah dengan menyediakan alun-alun demonstrasi justru akan menambah jauh jarak wakil dan rakyatnya? Saya kira, identitas wakil rakyat yang menempel pada anggota DPR adalah perwujudan aspirasi rakyat yang justru semestinya tak perlu ada demonstrasi, karena mereka jelas tahu apa keinginan dan kebutuhan rakyat. Jika hakim pemutus perkara atas hukuman seseorang dianggap sebagai "wakil Tuhan" karena perwujudan perpanjangan tangan dari hukum Tuhan, maka anggota DPR adalah "wakil rakyat" yang tentu saja perwujudan rakyat sebagai penyampai suara hati nurani rakyat.

Jika DPR adalah benar-benar perwujudan aspirasi rakyat, maka jelas tak perlu direncanakan apalagi dibangun alun-alun demokrasi, karena jelas rakyat telah mewakilkan suaranya melalui DPR. Aneh rasanya, jika sudah ada perwakilan rakyat, tetapi rakyat masih harus berdemonstrasi di sebuah alun-alun yang disediakan wakilnya sendiri. Jika benar demikian, maka mereka bukan lagi wakil rakyat, karena justru telah membuat jarak yang begitu jauh dengan rakyatnya sendiri. Lalu, mereka sebenarnya wakil siapa? Mungkin kita harus bertanya kepada "rumput yang bergoyang", sehingga kita dapat yakin bahwa mereka adalah wakil siapa.

Membangun alun-alun demokrasi sama saja dengan membatasi kebebasan berpendapat dalam  menyampaikan setiap aspirasi masyarakat kepada wakil mereka. Jika kemudian proyek alun-alun ini benar terwujud, maka tidak ada lagi aspirasi yang sampai kepada wakil mereka di DPR, yang ada aspirasi justru berhenti sekadar teriakan kemarahan dan sumpah serapah rakyat di sebuah alun-alun yang tak sampai terdengar suaranya ke gedung DPR. Tidak hanya itu, yang lebih penting justru anggaran negara yang sedemikian besar, dapat dialokasikan untuk kepentingan rakyat yang lebih besar, bukan sekadar menjadi "proyek bancakan" yang pada akhirnya menguap seperti mega proyek E-KTP. Bukankah rakyat sudah seringkali mengingatkan wakilnya? Menyampaikan aspirasinya yang sedemikian besar agar wakil rakyat mau mendengarkan dan memenuhi aspirasi tersebut?

Tahun ini memang tahun politik, dimana kesibukan mereka yang haus kekuasaan tentu saja mempersiapkan modal politik sebanyak-banyaknya untuk berpartisipasi dalam perhelatan politik satu atau dua tahun ke depan. Entah bagaimana caranya, yang jelas beberapa informasi yang tersebar di media menyebutkan, "gairah" DPR untuk menyukseskan beberapa proyeknya yang tertunda, sepertinya menemukan momentum di "tahun politik" ini. Sebut saja, proyek apartemen, renovasi gedung yang diklaim miring, perpustakaan, alun-alun demokrasi dan bahkan, DPD ikut-ikutan "ngiri" dengan tetangganya, untuk dibuatkan gedung baru dan mungkin masih banyak lagi.

DPR dan DPD saya kira, setali tiga uang, sama-sama produk partai politik (parpol) bukan semata-mata perwujudan perwakilan rakyat. Sebagai produk parpol, tentu saja mereka akan lebih mementingkan kepentingan parpol-nya daripada kepentingan rakyat. Parpol pengusung mereka pasti menagih janji "cost politics" sebagai operasional perhelatan kontestasi yang mungkin sudah harus dimulai saat ini. Sebab, tanpa ongkos politik yang memadai, apalah artinya sebuah kontestasi digelar, karena sejatinya bukan sebuah formalitas lima tahunan, tetapi justru akan menjadi penentu, siapa diantara mereka yang akan memenangkan kontestasi. Bagi yang memiliki modal cukup atau lebih, saya yakin merekalah yang pada akhirnya yang akan memenangkan kontestasi.

Mungkin sudah tak lagi aneh, jika para wakil rakyat tetap "ngotot" agar berbagai proyek pembangunan yang menghabiskan dana triliunan uang negara bisa dipenuhi pemerintah. Atau jika tidak semua, ya paling tidak sebagian proyek yang diusulkan itu disetujui, itung-itung buat modal kontestasi. Kritik dari berbagai elemen masyarakat yang merasa aspirasinya sudah dititipkan kepada DPR barangkali hanya sebatas angin lalu, jika pada akhirnya pemerintah-pun luluh hatinya oleh permohonan anggota parlemen.  Saya rasa, sulit pada akhirnya untuk menentukan, mana prioritas kepentingan rakyat dan mana prioritas kepentingan para wakilnya, karena sesungguhnya pemerintah juga adalah perwujudan wakil parpol yang dilegitimasi oleh negara.

Sudah menjadi hal lumrah, bahwa berbagai macam usulan proyek ini pada akhirnya tak akan lepas dari suasana conflict of interest yang seringkali mengorbankan kepentingan nasional. Rasa-rasanya tak sebanding nilai proyek yang sedemikian besar dengan kinerja anggota parlemen yang selalu dikritik kurang maksimal. Sederhana saja, fungsi legislator yang melekat pada DPR yang harus menyusun dan menyelesaikan undang-undang hampir tak pernah mencapai target dalam setiap tahunnya. Indonesian Parliamentary Center (IPC) bahkan melaporkan, dari 183 RUU yang masuk dalam prolegnas, hanya baru 14 RUU yang diselesaikan menjadi UU, sisanya 169 RUU masih harus diselesaikan hingga 2019 mendatang. Berarti dalam kurun waktu 4 tahun, DPR hanya sanggup menyelesaikan 14 RUU saja, padahal masa kerja DPR hanya tinggal 152 hari.

Saya kira, rakyat justru akan mendukung apapun upaya yang dilakukan para wakilnya di parlemen, selama kinerja mereka seimbang dengan apa yang mereka hasilkan dan berikan untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Jangankan sekadar proyek alun-alun demokrasi, lapangan sepak bola bertaraf internasional-pun saya kira rakyat tak keberatan, hal ini karena menimbang unsur keberhasilan dan kesuksesan para wakil rakyat mengawal aspirasi rakyatnya. Saya kira, rakyat masih butuh sekolah murah, hunian murah dan apapun fasilitas yang dapat dijangkau oleh mereka. Alangkah lebih eloknya jika anggaran sebesar itu benar-benar dibuat untuk kemakmuran rakyat bukan untuk kemakmuran para wakilnya yang sesungguhnya sudah makmur. Bukankah sudah diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 34 ayat 3, bahwa "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak". Wallahu a'lam bisshawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun