Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merasa Tak Korupsi Karena Tak Maling Uang Negara, Fenomena Apa Ini?

7 September 2017   20:04 Diperbarui: 13 September 2017   12:05 39895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunnews/Herudin

"Saya ini tak makan uang negara, tidak makan uang fakir miskin, tidak makan uang bansos dan tidak makan uang rakyat," kata Patrialis meradang usai divonis delapan tahun oleh Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (4/9/2017) lalu.

Dari pernyataan Patrialis Akbar itu, menyiratkan bahwa yang bersangkutan merasa tidak korupsi, setidaknya bentuk rasionalisasi atau pembenaran dari perbuatannya yang terbukti di pengadilan, di hadapan publik.

Padahal, UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 jelas-jelas menyebut suap kepada penyelenggara negara merupakan tindak pidana korupsi. Mustahil Patrialis tak tahu itu.

Fakta hukum yang terungkap di pengadilan menyebutkan, Basuki Hariman terbukti memberikan suap US$ 50 ribu kepada Patrialis untuk kepentingan uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dimana US$ 10 ribu diantaranya telah diterima Patrialis untuk biaya umrah.

Terdakwa korupsi bekas hakim MK Patrialis Akbar (Tribunnews.com/ Eri Komar Sinaga)
Terdakwa korupsi bekas hakim MK Patrialis Akbar (Tribunnews.com/ Eri Komar Sinaga)
Apa yang dilakukan Patrialis tersebut lebih kurang sama dengan kasus mantan Ketua DPD RI Irman Gusman. Irman pun, dari pernyataan-pernyataannya, menyiratkan perasaan tidak bersalah atau tidak korupsi sekalipun fakta hukum jelas-jelas membuktikan ybs menerima suap.

Yang tak kalah ironis, banyak operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap penegak hukum (oknum polisi, jaksa, advokat dan hakim), juga menyiratkan hal yang sama. Bahwa seolah-olah menerima uang dari orang lain karena jabatan adalah sah-sah saja, maling uang negara yang tidak boleh. Itu penegak hukum loh.

Orang-orang terpelajar dan melek hukum yang terkena OTT perkara suap pasti mengetahui bahwa menerima uang dari masyarakat karena jabatan adalah tidak boleh. Buktinya, mereka menerima uang itu diam-diam, sembunyi-sembunyi, agar tidak ketahuan orang lain atau aparat hukum.

Mengendap-endap waktu menerima suap semata-mata karena takut pada aparat hukum, bukan dilandasi takut karena melanggar norma moral, melanggar nurani terdalam, bahwa menerima pemberian dalam bentuk apapun dalam jabatan pada dasarnya terlarang secara moral dan hukum. Baginya, korupsi yang sejati hanyalah maling uang negara (merugikan keuangan negara).

Nampaknya fenomena ini dapat dijelaskan oleh teori Lawrence M. Friedman tentang sistem hukum. Mengutip Friedman (1984), ada tiga unsur pembentuk sistem hukum: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.

Fenomena di Indonesia saat ini terlihat ada kesenjangan antara perilaku berhukum atau budaya hukum dengan substansi hukum. Di mana substansi hukum, aturan, norma melarang penyelenggara negara menerima suap dari masyarakat. 

Sementara budaya berhukumnya [sikapnya terhadap hukum dan sistem hukum (kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya)] tidak mencerminkan atau berkebalikan dari substansi hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun