Setelah lulus dari pendidikan polisi di Sukabumi, Pandergoen ditempatkan di Ambarawa dengan gaji pertama 23 golden. Kemudian, tahun 1930, Pandergoen bertugas sebagai intelijen di wilayah Semarang dan sekitarnya dengan gaji sebesar 25 golden.
Merasa banyak beban selama bertugas di wilayah Semarang, khususnya di Ambarawa, Pandergoen mengajukan pindah tugas di dalam Kota Semarang. Hanya, saat menjadi polisi di Semarang, Pandergoen harus mematuhi aturan Belanda, karena seluruh polisi wajib mengikuti sistim kontrak.Â
Dengan ketentuan, bila selama menjalankan tugas sebagai polisi tidak sesuai dengan aturan yang diterapkan pihak Belanda, maka mereka sewaktu-waktu dapat diberhentikan sepihak. Untuk itu, kendati menjadi anggota polisi dengan sistem kontrak, mereka wajib mentaati aturan yang telah dibuat oleh pemerintah Belanda.
Lebih-lebih saat itu, pemerintah Belanda sedang mengalami krisis keuangan untuk mendanai perang melawan pemberontak pribumi dan kemungkinan perang bila sewaktu-waktu terjadi, serta menyiapkan anggaran untuk mendadani perusahaan milik Belanda.
Saat berdinas di Semarang, Pandergoen menikah dengan perempuan pribumi setempat. Selang beberapa tahun menikah, Pandergoen mengajukan mutasi ke kesatuan di Kediri dengan alasan, kondisi usia kedua orang tuanya di Desa Baleturi, Kecamatan Prambon sudah lanjut. Hanya, surat permohonan pindah tidak mendapat ijin dari pemimpinnya.
Merasa kecewa karena tidak mendapat ijin untuk pindah, Pandergoen mengancam ingin keluar sebagai anggota polisi. Tetap saja, ancaman Pandergoen tidak mendapat tanggapan dari atasannya. Pandergoen pasrah, dan tetap melanjutkan sebagai polisi di Semarang hingga Jepang mengusai Indonesia pada tahun 1942.
Selama pemerintahan Jepang, Pandergoen tetap melanjutkan sebagai polisi. Dia mendapat pendidikan ala Jepang dan berdinas hingga tahun 1945. Setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Sekutu, tentara Jepang kembali ke negaranya, polisi tidak dibubarkan. Namun, para anggota polisi harus menanggalkan atribut Jepang dan menggantinya dengan atribut bendera merah putih di dada.
Pada masa transisi saat itu, Belanda kembali ingin menguasai Indonesia. Kondisi keamanan di tanah air benar-benar belum stabil hingga banyak gangguan keamanan yang ditimbulkan oleh penduduk pribumi akibat krisis pangan. Termasuk kondisi keamanan di Semarang, banyak terjadi pembunuhan, penjarahan, pencurian dan gangguan keamanan lain.Â
Tentu saja, tugas polisi bertambah berat, karena tindak kejahatan yang dilakukan terhadap perusahaan milik pemerintah dan pembakaran perkebunan tebu milik swasta.