Mohon tunggu...
suherman madani
suherman madani Mohon Tunggu... -

saya hanya orang biasa. Anak petani yang bermimpi jadi orang besar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ritual di Tengah Laut Luwu Raya

13 April 2010   12:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

*Dari Acara Adat Pesta Laut dan Maccera Tasi di Kota Palopo LAUT adalah tempat mencari rezeki para masyarakat nelayan. Laut sudah mereka anggap bukan sesuatu yang menakutkan untuk dijelajah. Atas dasar itu, masyarakat pesisir selalu menghargai ciptaan tuhan tersebut. Salah satu cara yang dilakukan dengan  menggelar acara adat maccera tasi dengan berbagai ritual di laut. Ratusan perahu berjejer di sepanjang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan. Kota Palopo dulunya hanya ibu kota sebuah kabupaten yang namanya Kabupaten Luwu. Namun belakangan dimekarkan menjadi tiga kabupaten dan satu kota. Namun warga di tiga kabupaten dan satu kota ini tetap memiliki ikatan yang erat. Bahkan saat ini mereka terus berjuang untuk membentuk satu provinsi baru dengan nama Provinsi Luwu Raya. Jejeran perahu tersebut menurut salah seorang warga yang ditemui penulis tak seperti hari-hari biasanya. Sebagian perahu dilengkapi dengan bendera merah putih. Sebagian orang sibuk menghias perahu yang berejer itu. Hari itu, Minggu, 11 April 2010. Sebuah pesta adat dirancang digelar di lokasi ini. Tak heran jika pengunjung hari itu bukan bermaksud membeli ikan. Melainkan mengikuti prosesi pesta adat laut tersebut. Kebanyakan dari mereka juga hanya sekadar untuk menyaksikan pagelaran pesta adat yang dilakukan. Masyarakat adat nelayan dan petani dibawah naungan Langkanae (Keraton Luwu, red), salah satu kerajaan besar tempo dulu di Sulawesi, bekerjasama dengan Pemerintah kota Palopo, menggelar pesta laut dan maccera tasi. Kegiatan ini selain sebagai acara adat juga sebagai salah satu penarik wisatawan ke Kota Palopo. Penulis tiba di lokasi sekitar pukul, 08.00 Wita, acara inti belum juga dimulai. Beberapa pejabat lingkup Kota Palopo dan Luwu Raya pada khususnya mulai berdatangan. Pengunjung juga sudah mulai berdesakan di panggung yang sengaja di dirikan oleh panitia pelaksana. Sementara di panggung utama, Walikota Palopo, HPA Tenriadjeng, yang juga masih keturunan kerajaan Luwu sudah terlihat. Di gerbang panggung utama, berjejer gadis yang menyambut tamu yang datang. Tak lama mereka terlihat keluar dari panggung saat sebuah mobil berwarna hitam masuk mendekati panggung. Keluar dari mobil seorang lelaki dengan membawa tongkat. Tak lama ikut turun dari mobil perempuan paruh baya, menggunakan baju adat kerajaan, dia adalah Datu Luwu Opu Cenning (Raja Muda). Empat gadis yang memegang pajung (payung, red) kedatuan mendekat ke mobil dan memayungi Opu Cenning. Opu Cenning berjalan menuju singgasana yang disediakan menghadap ke laut. Sebuah panggung berdiri diatas tiga perahu yang dirakit sehingga dapat menopang panggung. Perahu itulah nantinya yang akan digunakan Opu Cenning mengarah ke ance (Panggung Kecil di Laut) untuk melakukan ritual maccera tasi. Tak lama Opu Cenning duduk di singgasananya, acara mulai dibuka. Setelah sambutan oleh beberapa orang diantaranya, Ketua Panitia Pelaksana, Kadis Pariwisata Palopo, Najib Kasim, Perwakilan Masyarakat Adat Nelayan dan Petani, Andi Rahmawati Sulthani, Walikota Palopo, HPA Tenriadjeng, dan terakhir Kepala Dinas Pariwisata Sulsel, Syuaib Mallombassi, yang mewakili Gubernur Sulsel, ritual maccera tasipun mulai dilakukan. Sebuah kapal nelayan dengan panjang sekitar sepuluh meter mendekat ke kapal yang diatasnya berdiri panggung utama. Perahu ini dikenal dengan nama Perahu Pua Puawang. Dua orang laki-laki menggunakan jas tutup dan sarung turun dari Perahu Pua Puawang. Mereka adalah Pincara Datu Luwu dan Puang Ade (pemangku adat, red). Ikut dibelakang dua pemangku adat ini seorang laki yang menjunjung seorang gadis. Gadis itu dikenal dengan nama Pabbulawang. Mereka menuju singgasana Datu Luwu Opu Cenning guna melakukan ritual pamitan ke Opu Cenning. Setelah ritual itu, para pemangku adat ini kembali ke Perahu Pua Puawang diikuti oleh peserta maccera tasi lainnya. Opu Cenning sendiri juga ikut mengarah ke panggung diatas tiga kapal yang dirakit. Tamu lainnya, seperti Walikota Palopo, Kapolres Palopo, AKBP Mustaring, Komandan Kodim 1403 Sawerigading, Letkol Inf Dede Indrazat, ikut ke Kapal Pua Puawang bersama pemangku adat. Ratusan kapal nelayan baik yang sudah dihiasi maupun perahu kecil sudah menunggu di tepi Tanjung Ringgit untuk mengiringi kapal yang dinaiki Opu Cenning dan perahu Pua Puawang ke ance. Ance adalah sebuah panggung kecil yang didirikan dilaut tepat dititik terjauh air laut surut. Atau biasa disebut dengan tempat pertemuan air tawar dan air laut. Kapal Pua Puawang terlihat mengelilingi ance. Berdasarkan kebudayaan maccera tasi Kapal Pua Puawang memang diharuskan mengelilingi ance sebanyak tiga kali sebelum melakukan ritual di atas ance. Orang Luwu mengenal rangkaian ritual itu sebagai Massorong Sebbu Kati. Setelah Kapal Pua Puawang mengelilingi ance sebanyak tiga kali, kapal yang ditumpangi Opu Cenning dan Kapal Pua Puawang merapat ke ance. Para pemangku adat mengarah naik ke panggung kecil tersebut, ikut juga Walikota Palopo, HPA Tenriadjeng. sementara Opu Cenning tidak beranjak dari tempat duduknya. Ritualpun segera dimulai. Semua kapal yang mengiringi kapal yang ditumpangi Datu Cenning dan Kapal Pua Puawang diminta oleh pemangku adat untuk mendekat. "Matikan semua mesin kapal," teriak salah seorang pemangku adat. Ritual pertama yang dilakukan yakni, mallambe atau memanggil ikan yang berada di perairan lain untuk menuju ke perairan Palopo dan Luwu pada umumnya. Suasang heningpun terasa ditengah laut. Ratusan orang yang mengiringi ritual ini nyaris tak bersuara. Semuanya hikmat mengikuti ritual yang dilakukan. Ritual selanjutnya yang dilakukan oleh Pua Puawang yakni, mappinarekka. Ritual itu bertujuan sebagai perkenalan diri secara total kepada tuhan yang maha esa. Setelah ritual itu para pemangku adat turun dari Ance dan mengarah kembali ke Kapal Pua Puawang. Di kapal ini ritual kembali dilakukan. Pemangku adat membuang sebuah rakki (tempat yang terbuat dari rakitan bambu) yang berisi hasil bumi. Ritual itu sebagai penyerahan persembahan ke Allah SWT melalui laut. Setelah membuang Rakki beserta isinya, para nelayan dihimbau untuk tidak mengambil isi rakki sebelum semuanya terendam. Tak lama seorang nelayan lompat dari atas kapalnya mengambil isi rakki tersebut. Hasil bumi yang dijadikan persembahan itu diyakini dapat membawa berkah bagi nelayan yang mengambilnya setelah dijadikan persembahan. Ritual selanjutnya  yakni malleppasang minasa (menyatakan harapan, red). Ritual ini cukup unik. Pemangku adat melepaskan beberapa ekor ikan tiko-tiko yang telah diberi makan secuil emas murni. Ikan tiko-tiko oleh masyarakat Luwu diyakini sebagai raja dari semua jenis ikan. Selesai melakukan ritual malleppasang minasa, Kapal Pua Puawang dan perahu yang ditumpangi Opu Cenning kembali ke pantai yang kembali diiringi oleh ratusan kapal dan perahu nelayan. Sampai di daratan, ritual kembali dilakukan, para pemangku adat dari masyarakat desa-desa petani menyerahkan sepiring nasi ketan empat warna. Kegiatan itu diberi nama mappangngolo lise rakki. Peristiwa magis juga sempat terjadi. Beberapa orang menurut warga yang ditemui penulis sempat kesurupan saat rakki dipersembahkan ke laut. Ada diantara mereka kabarnya berbicara menolak acara maccera tasi tersebut. Bahkan saat kapal yang ditumpangi penulis mulai sandar di pantai, seorang ibu menghadap kelaut masih dikerumuni warga. Perempaun itu kesurupan. Saat beberapa jurnalis yang ada di kapal termasuk penulis bermaksud mengabadikan moment itu, warga yang mengerumuni perempuan yang kesurupan tersebut tiba berteriak melarang mengambil gambar. Pasalnya perempuan yang kesurupan itu meminta warga melarang memotret kejadian itu. Sebelum acara inti, malam sebelumnya juga dilakukan ritual persembahan kepala kerbau yang telah disembelih ditempat itu. Ritual ini dilakukan sekitar pukul 23.00 Wita juga dilokasi yang sama. Acara pesta laut dan maccera tasi ini sendiri dilakukan selama dua hari. Hari sebelumnya, beberapa kegiatan sempat dilakukan diantaranya lomba balap perahu. Selesai melakukan ritual maccera tasi, beberapa agenda kegiatan kembali dilanjutkan. Beberapa lomba telah disiapkan oleh pelaksana untuk menghibur pengunjung. Lomba yang diadakanpun cukup unik, diantaranya, lomba tangkap bebek, lomba panjat pinang di laut, lomba renang massal, lomba menyambung tali, dan lomba mengikat batu di jaring. Warga sendiri antusias mengikuti lomba-lomba ini. Terik matahari makin panas. Pengunjung tetap saja terus berdatangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun