Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bukan Ahok yang Rugi Kalau Gak Nyagub

22 April 2016   10:48 Diperbarui: 24 April 2016   11:39 6288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="beritalive.com"][/caption]

Setelah gagal menjebloskan Ahok ke terali besi KPK lewat kasus RSSW dan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, para musuh Ahok mengkreasi strategi dan cara lain. Pertama; upaya penambahan ayat 8 pada pasal 14 (sebeumnya hanya 7 ayat) rancangan Peraturan KPU (PKPU) No.9 Tahun 2015, terutama butir (a), yang mengatur penggunaan materai pada calon perorangan. Ini berimplikasi besar bagi kerja Teman Ahok, yang setelah mengumpulkan hampir 800-an ribu dukungan KTP harus bekerja ulang dari nol pasca pemilihan Heru sebagai paslon Ahok. Padahal, meski baru sekitar enam minggu sudah berhasil mengumpulkan hampir 700-an ribu KTP. Dengan adanya pasal ini, bila diberlakukan, TA harus kembali kerja dari nol untuk menempelkan materai dan tandatangan pendukung orang per orang. Disamping, tentu saja implikasi pendanaan yang tidak sedikit. Tidak heran kalau Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris  menyebutnya sebagai upaya penjegalan Ahok (Radar Politik). Kedua; muncul wacana DPR akan merevisi UU Pilkada terkait prosentase dukungan perseorangan dinaikkan dari antara 6,5-10% menjadi 10-15%. 

Hingga saat ini, baru Ahok yang memastikan diri maju lewat jalur perseorangan, maka tidak terhindarkan munculnya prasangka bahwa “ayat selundupan” dan revisi prosentase syarat dukungan itu sebagai semacam bom rakitan untuk menghabisi sama sekali peluang Ahok maju ke Pilkada 2017.

Perkembangan mutakhir, yang menurut saya kasus RSSW dan Reklamasi Jakarta hanya dijadikan pemicu, lalu semacam momentum beruntun yang terkelola secara sistemik sehingga tidak akan terprediksi ujung penyelesaiannya. Ia memiliki struktur parmenen yang tersembunyi di dasar sistem, sehingga setiap saat akan muncul dengan memanfaatkan berbagai momentum sebagai pemicu. Gejala di permukaan ini menegaskan bahwa para musuh Ahok telah berkolaborasi dan bekerja keras dengan berbagai cara dan upaya untuk menggagalkan Ahok maju dalam pilkada DKI 2017. Mereka sadari kalau bekerja menjual visi dan program sebagai cara merebut hati masyarakat (calon pemilih), pasti tidak bisa menyaingi Ahok yang sudah sukses membuktikannya lewat kinerja. Alih-alih beradu visi lebih gampang mematikan peluang Ahok.

Terlepas dari apakah upaya mereka berhasil atau tidak, kekisruhan ini masih akan lama mewarnai perpolitikkan di DKI dan imbasnya ke level nasional. Selama Ahok memimpin DKI, kekisruhan tidak akan terhenti. Diperparah dengan gaya komunikasi Ahok yang keras, spontan dan telanjang akan  cenderung memperbanyak musuh daripada merekonsilioasi dan memperbanyak sumberdaya strategis yang dibutuhkan untuk membangun. Karenanya, cukup potensil tercipta suasana tidak kondusif bagi keberlangsungan pembangunan. Kesimpulan ini memperkuat tesis saya pada tulisan terakhir saya tentang Ahok (Baca disini).

Tulisan terakhir tentang Ahok menyarankan Ahok mundur dari cagub Pilkada DKI 2017, dan mendukung Djarot-Heru. Tesis utama dari tulisan itu terkait erat dengan faktor “pengembangan kapasitas kepemimpinan dan solusi menyeluruh bagi berbagai kekisruhan.”

Intinya, dengan Ahok mundur dan Djarot-Heru maju ada sejumlah manfaat:

1. “Rekonsiliasi” Ahok-PDIP berjalan, sekaligus juga rekonsiliasi dengan berbagai elemen pembangunan dan mitra strategis seperti DPRD, BPK, KPK, DPR-RI, yang selama ini dirasakan “dilukai” oleh Ahok. Rekonsiliasi tidak dimaksudkan terciptanya kompromi terhadap berbagai masalah yang menjadi sumber konflik. Melainkan akan terjadi perbedaan pendekatan dalam penjabarannya. Saya termasuk  orang yang percaya, bahwa “kebenaran bila disampaikan dengan cara yang bijak akan lebih mudah diterima.” 

2. Kontinuitas pembangunan DKI berjalan mulus karena Djarot yang selain sudah teruji berprestasi selama menjadi walikota dua periode di Blitar, juga selama ini telah mendampingi Ahok sebagai Wagub. Heru pun telah terbukti sukses menjadi walikota Jakarta Utara, dan selama ini dipercaya Ahok,  bahkan telah dipilih menjadi calon wagubnya.

3. Pengembangan kepemimpinan. Harus diakui bahwa kita sedang mengalami krisis kepemimpinan. Para pemimpin yang berintegritas dan berkinerja baik di negeri ini masih bisa dihitung dengan jari (paling melewati jari tangan ya ditambah jari kaki). Ahok, dengan kapasitas dan kinerja yang sudah teruji, bisa diberikan posisi yang lebih tinggi.  Begitupun, Djarot dan Heru, dengan demikian berkesempatan mengembangkan kepemimpinannya di level yang lebih tinggi, sebagai pijakan antara untuk menaiki tangga kepemimpinan nasional. 

Dengan alasan-alasan di atas, menurut saya Ahok tidak rugi kalau tidak nyagub. Bahkan, lebih banyak pihak yang untung, termasuk warga DKI, dan secara nasional juga untung. Saya sebut itu sebagai  sebuah “solusi triple win” (triple win solution) yaitu Ahok menang, para “lawan-lawannya” menang, juga warga DKI dan Indonesia menang. (Btw, saya pikir mungkin juga akan membuat para Ahokers dan haters berdamai, alias sama-sama menang heheeh @berharap.com).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun