Ning terbangun di atas dipan beralas tikar pandan, tubuhnya berpeluh dan telanjang bulat, laki-laki di sampingnya pun tertidur dengan posisi yang sangat tidak enak dipandang mata. Segera saja Ning bangkit, dan saat dirinya bangkit, tubuh dempal laki-laki berperawakan tambun itu menggeliat, liur yang menggantung di sudut bibirnya mengalir menuju telinganya.
Buru-buru Ning mengumpulkan pakaiannya yang tercecer di segala penjuru ruangan berukuran 3x4 meter tanpa perabot tersebut. Begitu selesai mengumpulkan pakaiannya yang tercerai-berai, Ning segera menuju kamar mandi kecil di dalam ruangan tersebut untuk sekadar membasuh sisa-sisa mani yang melumuri tubuh sintalnya.
Tak pernah sedikitpun Ning bermimpi menjadi pelacur, ditindih belasan tubuh laki-laki dalam satu malam. Baginya ini semua hanyalah upaya yang harus dilakukannya untuk menyambung hidup, memberi makan mulut bapak dan ibunya.
Saat Ning keluar kamar mandi, laki-laki bulat dengan wajah bengis itu sudah bangun rupanya, laki-laki itu salah satu orang yang selalu mencari Ning apabila sudah memuncak birahinya. Bagi banyak orang lain laki-laki itu adalah seorang yang kasar dan suka memukul, tapi bagi Ning laki-laki itu adalah salah satu malaikat pelindungnya di lembah nista ini. Laki-laki bernama Baskoro itu, memberinya perlindungan dengan bayaran tubuh indahnya.
"Sampun kreso kundur, Ning," tanya Baskoro yang sudah memakai celana dalamnya.
"Nggih Pak, Wau Bapak Kesaren, kulo ajrih ngwungoken Bapak," jawab Ning sambil mengikat rambutnya menjadi ekor kuda.
"Lho, yo nggih mboten menopo nduk, mriki, lungguh sekedhap teng mriki," kata Baskoro sambil menepuk sisi dipan itu.
"Nggih Pak," jawab Ning menghapiri.
Baskoro segera saja mengeluarkan dompet dari dalam celananya yang tersampir di sisi dipan yang satunya. Diambilnya 10 lembar uang berwarna merah dan diserahkannya kepada Ning.
"Menopo niki Pak," kata Ning dengan wajah terkejut.
"Lho, niki arto nduk," jawab Baskoro santai.