Mohon tunggu...
Ryan
Ryan Mohon Tunggu... Freelancer - penulis

dari Flores

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Allah Menurut Feuerbach: Proyeksi Diri Manusia

28 Februari 2011   16:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:11 1731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) adalah seorang filsuf-ateis yang lahir di Bavaria, Jerman. Pada usia muda ia tertarik dengan soal-soal keagamaan. Setelah usia 19 tahun, ia pergi ke Heidelberg University untuk belajar teologi. Pada tahun 1824, Feuerbach pindah ke Berlin, dimana ia mengikuti kuliah-kuliah Hegel. Ia pun mulai meminati filsafat, dan meninggalkan teologi.

Tesis utama Feurbach tentang Allah demikian: Allah adalah hasil pikiran manusia dan bukan sebaliknya. Perihal adanya manusia adalah realitas konkret yang tidak terbantahkan, an sich. Inilah dasar kritik Feuerbach yang membawanya pada sebuah konklusi bahwa bukan Allah yang menciptakan manusia tetapi Allah adalah hasil/ ciptaan angan-angan manusia.

Di sini saya memaparkan secara singkat tesis Feuerbach tersebut, sekaligus memberi tanggapan atasnya.

Allah Sebagai Proyeksi Diri

Manusia memiliki kemampuan merefleksikan hakikatnya sendiri. Hal ini berarti bahwa manusia sadar diri. Hakikat manusia bagi Feuerbach terdiri dari rasio, kehendak dan hatinya. Rasio, kehendak dan hati ini dapat diidealisasikan sampai tak terhingga. Tampak bahwa gambar yang ideal dari hakikat manusia kemudian dianggap sebagai sifat-sifat yang melekat dalam diri Allah. Allah dijustifikasi sebagai Yang Tertinggi, Maha Sempurna, yang memiliki semua sifat ideal dari cita-cita hakikat diri manusia.

Dalam pandangan Feuerbach, Allah yang digambarkan oleh manusia di sini adalah manifestasi dari angan-angannya akan entitas tertinggi yang sifatnya melampaui dirinya. Jelas bagi Feuerbach bahwa Allah adalah proyeksi dari kehendak manusia, karena sifat-sifat yang digambarkan manusia sebagai identitas Allah adalah bentuk sempurna dari hakikatnya sendiri. Hakikat Allah adalah hakikat manusia yang telah dibersihkan dan disuling dari segala keterbatasan atau ciri individualnya lalu dianggap sebagai kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia. Manusia mengobjektifkan hakikatnya dalam suatu subjek fantastis, hasil khayalannya semata-mata. Dan itulah Allah dalam pemahaman Feuerbach.

Karena Allah adalah substansi ideal dari hakikat diri manusia, maka agama adalah mimpi, fantasi manusia yang menggambarkan situasi manusia yang serentak menyadari sumber kepuasan bagi keinginan untuk mengatasi situasi deritanya, ketergantungannya. Ia berusaha mengatasinya dengan meneriakkan pada tujuan imajinasinya, yakni agama.  Manusia pada gilirannya berpaling pada agama karena menemukan bahwa mereka bebas dari deritanya dalam fantasi-fantasinya. Karena agama menggambarkan sebuah keinginan, agama adalah pelarian manusia mencari di surga apa yang tidak dapat ditemukan di bumi sebagai kompensasi frustrasinya. Di sini, agama adalah suatu ungkapan ketergantungan. Agama adalah konsekuensi dari pengakuan manusia akan keterbatasannya.

Manusia Mengalami Alienasi

Dengan menempatkan bentuk sempurna dari hakikat dirinya sebagai hakikat Allah, maka manusia mengalami alienasi. Manusia mengakui dalam Allah apa yang diingkari dalam dirinya. Karena Tuhan adalah cinta, kita harus membaca cinta itu Ilahi, karena Tuhan terharu, kita harus membaca keharuan adalah Ilahi, yaitu sesuatu yang bernilai, megah, baik pada dirinya.  Menurut Feuerbach daya-daya ini (bernilai, megah, baik) ditempatkan melebihi dan mengatasi manusia serta mentransformasikannya ke dalam pribadi Ilahi yang dibedakan dari manusia. Agama adalah ekspresi keterasingan manusia. Sejak daya-daya Allah identik dengan daya-daya manusia terjadi apa yang ia sebut "memperkaya Allah sambil memiskinkan diri atau substansi manusiawinya".

Dengan demikian manusia mengakui dalam Tuhan apa yang ia sangkal dalam dirinya sendiri. Dengan memproyeksikan dirinya ke luar (ke dalam sifat-sifat Allah), maka manusia membangun tembok pemisah dengan dirinya sendiri, menganggap hal-hal yang diproyeksikannya sebagai sesuatu yang lain dari dirinya. Manusia lalu merasa bahwa hasil proyeksinya itu menghadapi dirinya sebagai objek. Manusia mendapati dirinya lebih rendah, memiluhkan, menyedihkan, penuh dosa daripada hasil proyeksi dirinya. Di situ pula, ia menyadari ketidaksanggupannya untuk mencapai hakikat dirinya yang utuh.

Proyeksi dirinya dianggap sebagai eksistensi yang ada pada dirinya, yang disembahnya, ditakuti, dihormati sebagai Allah. Karena manusia menjadi takut, ia seakan-akan menjadi lumpuh; ia tidak berusaha untuk mewujudkan diri sendiri sesuai dengan gambarannya itu. Dari pada merealisasikan hakikatnya, ia secara pasif mengharapkan berkah daripadanya. Ia mengasingkan sifat-sifat dari hakikatnya pada Allah dan menyembah Allah sebagai yang mahakuat, maha adil. Keyakinaan ini mencegah manusia untuk merealisasikan hakikatnya karena ia diblokir oleh pengakuan akan ketidakmampuannya untuk mengejar kesempurnaan hakikatnya. Manusia merasa terasing dari dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun