Mohon tunggu...
Roy SamsuriLubis
Roy SamsuriLubis Mohon Tunggu... Buruh - Penyiar paruh waktu

Pemikir Penuh Waktu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gerbong Gelap Kehidupan

27 Mei 2019   12:34 Diperbarui: 27 Mei 2019   13:02 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
upload.wikimedia.org

Sepanjang malam aku tidak bisa tertidur. Pikiranku masih tertuju pada ibu dan adik-adikku. Aku anak lelaki satu-satunya dalam keluarga. Ada beban tersendiri meski ibu tak ingin aku ikut terbebani dengan masalah yang kami hadapi. Usiaku 25 tahun, sudah menikah. Aku merasa harus menjadi penopang dan penguat untuk ibu terlebih untuk adik-adikku yang masuk usia gadis. Memang mereka masih dalam perkuliahan. Dua di antara mereka akan wisuda tahun depan.

Pagi itu aku menangis sejadi-jadinya. Iya, aku adalah orang yang sangat sentimen terlebih jika berurusan dengan ibu. Aku berkali-kali sesenggukan kalau mengingat beliau. Melihat perjuangan dia untuk menjadikan kami manusia yang baik. Ayah masih sehat, tapi dia bukan lelaki yang patut dijadikan contoh. Dia tidak bekerja. Dia hanya lalu-lalang dari warung ke warung. Main judi dan mabuk-mabukan hal yang biasa baginya. Satu-satunya yang bisa dijadikan contoh dari beliau barangkali hanya tangannya yang tidak pernah menyentuh kami anak-anaknya atau pun ibu. Dia tidak pernah memukul. Bagiku dia hanya menumpang hidup pada ibu, perempuan yang seharusnya jadi tulang rusuk, tapi dipaksakan jadi tulang punggung. Pagi itu ibu meneleponku dan di ujung sana terdengar suara terbata-bata seperti orang menngis.

"Ada apa, Bu?" aku bertanya.

"Ayahmu, Nak. Dia menghamili anak gadis orang." Jawab beliau

Aku merasa seperti disambar petir. Seketika lututku lemah dan bibir jadi kelu.

Dia memiliki tiga anak perempuan dan satu anak lelaki usia 25 tahun sudah menikah pula. Pada usia menginjak 52 tahun, ia berbuat bejat. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak bisa kubayangkan bagaimana ibu akan menanggung semua rasa malu itu atau masa depan adik-adikku. Belum sembuh rasanya malu setahun lalu ketika ia digelandang polisi karena kasus perjudian. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku memaki sejadi-jadinya.

"Ada apa, Bang?" berkali-kali istri menanyakan itu, tapi tak bisa kujawab. Hanya air mata yang terus mengalir di pipiku. Aku memang tidak peduli dengan perbuatan ayah. Sejak kecil aku sudah kehilangan dia. Sejak kecil aku sudah tahu bagaimana perangainya. Satu-satunya yang tak bisa aku terima penderitaan dan rasa malu yang harus ditanggung perempuan yang membesarkanku.

Aku menyuruh istri untuk berkemas karena harus pulang ke rumah ibu saat ini juga. Sejak menikah aku memang pindah ke tempat yang lebih dekat dengan tempatku kerja. Meski tidak begitu jauh dari rumah orang tua. Jaraknya sekitar 25 kilometer. Aku kuatkan diri untuk memberitahu istri apa yang terjadi.

"Ayah menghamili anak gadis orang" ucapku lirih.

Dia menoleh dan memelukku serta menangis sejadi-jadinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun