Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri
Rokhmin Dahuri Mohon Tunggu... -

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI)\r\nMenteri Kelautan dan Perikanan tahun 2001-2004\r\nGuru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Selanjutnya

Tutup

Money

Transformasi Struktural Ekonomi dan Kemajuan Bangsa

16 Februari 2016   09:02 Diperbarui: 16 Februari 2016   09:09 4809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Indonesia memiliki potensi pembangunan paling lengkap dan luar biasa besarnya untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat. Pertama berupa 255 juta jiwa penduduk (terbanyak keempat di dunia) dengan jumlah kelas menengah yang cukup banyak (65 juta orang) merupakan human capital dan potensi pasar domestik yang sangat besar. Kedua, kekayaan alam yang begitu beragam dan besar, baik yang terdapat di daratan, apalagi di lautan. Ketiga, posisi geoekonomi yang sangat strategis, dimana 45% dari seluruh barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 trilyun dolar AS per tahun dikapalkan melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2012). 

Namun sudah 70 tahun merdeka, hingga kini Indonesia masih sebagai negara berkembang berpendapatan menengah bawah (GNP/kapita sebesar 4.500 dolar AS) dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, kesenjangan kaya vs miskin kian melebar, dan daya saing serta Indeks Pembangunan Manusia yang rendah.  Sementara itu, negara-negara tetangga dengan potensi pembangunan yang jauh lebih kecil (seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand), tingkat kemajuan dan kemakmurannya jauh melampaui Indonesia.             

Oleh sebab itu, pasti ada yang salah dengan cara-cara kita membangun bangsa ini. Kesalahan itu mulai dari belum adanya konsep pembangunan yang benar dan dilaksanakan secara berkesinambungan, penguasaan IPTEK dan kapasitas inovasi yang rendah, sampai dengan sistem politik yang gagal membangun masyarakat meritokrasi. Dan, salah satu penyebab utama ketertinggalan Indonesia adalah karena kita belum mampu melakukan transformasi struktural ekonomi.

Transformasi Struktural Ekonomi

Pada dasarnya bangunan ekonomi suatu negara tersusun dari sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor primer mencakup sektor-sektor ekonomi yang menghasilkan komoditas mentah dengan cara mengekstraksi SDA dari ekosistem alam (seperti penangkapan ikan, penebangan pohon hutan, dan pertambangan) atau dengan membudidayakan tanaman, hewan, ikan, dan organisme lainnya, seperti pertanian, perkebunan, hutan tanaman industri, peternakan, dan perikanan budidaya. Dalam khasanah pembangunan Indonesia, sektor primer terdiri dari pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, dan ESDM. Sedangkan, sektor sekunder adalah industri manufakturing yang meliputi industri pengolahan SDA, bioteknologi, elektronik, otomotif, mesin dan peralatan mesin, kimia, teknologi informasi (hardwares dan softwares), nanoteknologi, dan lainnya. Sementara itu, sektor tersier mencakup semua sektor jasa (seperti kesehatan, pendidikan, riset dan pengembangan, perdagangan, keuangan, transprotasi, konstruksi, perumahan, dan konsultansi), pariwisata, dan ekonomi kreatif.

Fakta empiris menunjukkan bahwa seluruh negara maju dan makmur, seperti yang tergabung dalam OECD dan dewasa ini Turki, Malaysia, Tiongkok, dan emerging economies lainnya adalah mereka yang sukses melaksanakan transformasi struktural ekonominya. Yakni negara yang pada masa awal kelahiran (kemerdekaan) nya, matapencaharian sebagian besar penduduk dan ekonomi (PDB) nya bertumpu pada sektor primer. Kemudian dalam waktu relatif cepat (setelah 25 – 50 tahun), pekerjaan sebagian besar rakyat dan ekonomi nya bergantung pada sektor sekunder dan sektor tersier yang produktif, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Contohnya, pada awal masa pembangunannya, sekitar 40 – 70 persen penduduk negara-negara OECD (AS, Kanada, Eropa Barat, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru) bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan; dan kontribusi sektor primer ini terhadap PDB nya sekitar 40 – 75 persen.  Lalu, sejak menjadi negara maju dan makmur, rakyat yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tidak lebih dari 15% total penduduk. Sementara kontribusi ketiga sektor primer ini terhadap PDB nya masih cukup besar, sekitar 20 – 45 persen.  Mayoritas penduduk dan ekonominya beralih ke sektor sekunder dan tersier yang lebih produktif dan berdaya saing.

Walhasil, di negara-negara industri maju tersebut, rakyat dengan pendapatan yang tinggi (sejahtera) bukan hanya mereka yang bekerja di sektor sekunder dan tersier, tetapi juga para petani dan nelayan. Sebab, dengan jumlah (proporsi) petani dan nelayan yang semakin menurun, mereka bisa berusaha pertanian dan perikanan dengan ukuran unit usaha (bisnis) yang tetap besar atau semakin besar, sehingga memenuhi skala ekonomi. Lebih dari itu, para petani dan nelayan pun bisa menggunakan teknologi budidaya dan penangkapan ikan yang lebih modern (produktif dan efisien), tanpa merusak lingkungan atau mengancam kelestarian SDA. Mereka pun mampu mengorganisir diri dan melakukan manajemen usaha dengan baik.  Sehingga, memiliki posisi tawar yang tinggi untuk setiap saat mendapatkan sarana produksi yang berkualitas dengan harga relatif murah, dan dapat memasarkan produknya dengan harga jual sesuai nilai keekonomiannya.

Apakah Indonesia telah berhasil melakukan transformasi struktural ekonominya?.  Transformasi struktural ekonomi yang sukses, sebagaimana terjadi di negara-negara maju di atas, adalah ketika jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) menurun, diikuti dengan kenaikan konstribusi sektor ini terahadap PDB atau setidaknya tetap, dan semakin besarnya proporsi penduduk yang bekerja di sektor sekunder dan tersier. Faktanya, pada masa Orde Lama (1945 - 1965), rakyat yang bekerja di sektor pertanian sekitar 65% total penduduk, dan sumbangan sektor ini bagi PDB sebesar 50 persen.  Di zaman Orde Baru (1966 – 1997), sekitar 60 – 40 persen penduduk bekerja di sektor pertanian, dan kontribusi sektor ini terhadap PDB menurun tajam, sekitar 40 – 20 persen.  Sejak awal Reformasi (1998) sampai sekarang, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB menurun semakin tajam, sekitar 20 – 14 persen. Sementara itu, jumlah petani dan nelayan hanya turun sedikit dan sangat lamban, menjadi 38 – 35 % total penduduk. 

Hasil penelitian Pakpahan (2004) menunjukkan fenomena serupa: pada periode 1960 – 2003 setiap penurunan 1 persen kontribusi sektor pertanian terhadap PDB hanya diikuti pangsa tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5 persen.  Bandingkan dengan di Korea Selatan: tiap penurunan pangsa PDB pertanian 1 persen diikuti penurunan pangsa tenaga kerja pertanian dua kali lipat.  Idealnya, jika pangsa PDB pertanian sebesar 14% seperti sekarang di Indonesia, maka pangsa tenaga kerja pertanian maksimal 20 persen (Khudori, 2015).

Data diatas dengan gamblang mengungkapkan, bahwa Indonesia belum berhasil melakukan transformasi struktural ekonominya. Sektor sekunder dan tersier belum secara signifikan menyerap surplus tenaga kerja dari sektor pertanian. Akibatnya terjadi involusi pertanian, yang tercermin dari semakin menurunnya pendapatan petani dan nelayan dari waktu ke waktu.  Bayangkan, per Maret 2014 sekitar 62 persen dari total rakyat miskin Indonesia (28,3 juta orang) adalah petani dan nelayan, dan rata-rata pendapatan rumah tangga petani dan nelayan hanya Rp 1 juta per bulan, jauh dari UMR di DKI Jakarta sebesar Rp 3, 2 juta per bulan (BPS, 2014). Saat ini pendapatan petani dan nelayan sebesar itu hanya cukup untuk menopang seperempat total kebutuhan hidup keluarga mereka setiap bulannya. Sisanya diperoleh dari matapencaharian tambahan di luar pertanian atau perikanan, seperti sebagai tukang ojek, buruh bangunan, berdagang, istrinya menjadi TKW di luar negeri, dan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun