Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat yaitu Kanegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu.
Tidak ada lagi tumpang tindih di antara hutan adat dan hutan negara
Implikasi Keputusan MK
Para warga masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Jadi, tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum adat seperti dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945," kata Hakim Konstitusi M. Alim saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Dengan putusan itu, puluhan juta hektar hutan adat yang tadinya diklaim sebagai hutan negara diakui keberadaannya dan dapat dikelola oleh masyarakat adat yang menempatinya. Â
Suku yang memiliki kesempatan mendapatkan dan memanfaatkan kembali hutan mereka
Ada banyak masyarakat hukum adat yang dapat memanfaatkan kembali hutan mereka sesuai dengan adat istiadat mereka., diantaranya suku Dalam di Jambi, suku Dayak dan orang2 Â Papua.
Sebelum keputusan MK di atas, masyarakat hukum adat ini semakin terjepit kerena hutan tempat tinggal mereka, hutan yang memenuhi kebutuhan hidup  mereka, direbut oleh entitas bisnis/ perusahaan perkebunan kelapa sawit, pemegang  HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN, perusahaan tambang maupun pendatang.
Hutan adat ini milik masyarakat hukum adat sebelum Republik Indonesia terbentuk
Suku Dayak
Disini penulis menyinggung suku Dayak sebagai contoh suku yang menderita dengan direbutnya hutan mereka.
Seorang Kepala suku Dayak pernah mengatakan bahwa jangankan menebang pohon, memotong rantingpun mereka pertimbangkan masak-masak. Sekarang menebang satu saja pohon kami, kami dihukum sebagai penebang liar.
Sedangkan perusahaan yang katanya memiliki izin HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN memotong jutaan pohon kami.
Di waktu senggang kami mendulang intan seperlunya untuk kebutuhan kami, sekarang kami disebut penambang ilegal. Perahu kami yang kami pakai untuk mendulang intan, dibakar.
Pekerjaan mendulang intan kami kerjakan sebelum Republik Indonesia terbentuk
Penambang besar menambang intan sebebas-bebasnya karena katanya mereka memiliki izin menambang.
Mengapa hutan kami direbut oleh Pemerintah, oleh Pengusaha dan oleh Pendatang? Karena kami tidak dapat menunjukkan bukti/sertipikat kepemilikan atas hutan kami.
Tulisan YustinusSapto Harjanto di Kompasiana, judul Lapar Lahan dan Derita Masyarakat Adat Dayak sangat memilukan untuk dibaca.