Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anda Yakin Guru Tetap Dibutuhkan di Era Teknologi?

22 November 2019   07:07 Diperbarui: 26 November 2019   07:39 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revolusi Industri memasuki era 4.0 yang ditandai dengan era digitalisasi dan otomatisasi. Banyak para pejabat mengeluarkan statement bahwa profesi guru tidak akan tergusur dengan masuknya era serba otomatis tersebut. 

Pertanyaan pokok yang saya ajukan adalah apa benar profesi guru tidak bisa dikalahkan mesin? 

Menurut saya ini sangat tergantung dari konsep guru yang dimaksud. Harus diingat, profesi guru memiliki banyak fungsi. Dalam banyak teori, guru berfungsi sebagai pendidik, pengajar, pelatih, pembimbing, motivator, inovator, mediator dan banyak lagi. 

Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, Guru diartikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah

Tapi saya melihatnya dari dua fungsi utama saja sebagai pendidik dan pengajar. Secara umum, guru sebagai pendidik adalah tugas yang terkait dengan pengembangan karakter. Sedangkan guru sebagai pengajar terkait dengan tugasnya untuk menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa.

Profesi guru yang sedang saya bahas dalam tulisan ini adalah guru di sekolah. Apakah mereka akan tetap aman di tempatnya di era baru nanti?

Yang harus disadari adalah saat ini siswa tidak hanya memiliki guru di sekolah. Mereka memiliki banyak guru yang bisa ditemukan di banyak tempat. 

Sebelumnya, bimbingan belajar di luar sekolah menjamur karena orangtua menganggap sekolah atau guru tidak cukup untuk menularkan pelajaran secara sempurna di kelas. Bahkan anak guru pun ikut bimbel.

Kini, siswa juga mampu menentukan siapa guru favorit  khususnya di dunia maya. Siswa bisa menemukan di aplikasi atau Youtube para guru yang mengajar di sana dalam berbagai mata pelajaran. Di aplikasi ada faktor mesin yang memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan guru di kelas.

Di dunia maya, siswa adalah raja yang bisa menyuruh guru untuk mengulang pelajaran ribuan kali sekalipun lewat aplikasi. Siswa bisa memutar ulang pelajaran semau gue di aplikasi. 

Coba bayangkan jika itu dilakukan di kelas. Guru adalah manusia yang dihinggapi pula rasa bosan dan lelah. Jika disuruh mengulang pembelajaran dalam beberapa kali saja, guru belum tentu sanggup, apalagi puluhan kali. 

Dari sisi ini, guru tak akan sanggup mengalahkan mesin. Atau dalam bahasa sebaliknya, mesin pada akhirnya bisa mengalahkan guru dalam aspek pengajaran. Jadi jangan terburu-buru menyatakan guru akan tetap eksis seperti saat ini. 

Proses pembelajaran secara terbuka terbukti berjalan dengan baik. Mereka tidak perlu bertemu setiap hari antara guru dan siswa, tetapi proses transformasi ilmu bisa berlangsung.

Dalam menjalankan proses pengajaran ilmu, guru di kelas memiliki beberapa kelemahan mendasar. Pertama, ia hanya sanggup menghadapi beberapa puluh siswa. 

Bandingkan dengan aplikasi yang bisa melayani ribuan orang dalam waktu yang sama. Pada webinar yang umumnya sering dipakai dalam training bisnis, pakar berbicara di tempat yang terpisah dengan siswa. 

Singkatnya, dengan teknologi  guru harus beradaptasi. Peran sebagai sekadar penyalur ilmu  benar-benar mendapat tantangan berat dari mesin. Apalagi dengan kemajuan teknologi yang tiada henti. 

Proses belajar juga bisa menggunakan teknologi yang lebih canggih misalnya dengan Virtual Reality. Dengan teknologi ini, siswa dapat berinteraksi dengan suatu lingkungan (misalnya kelas atau laboratorium) yang disimulasikan oleh komputer (computer-simulated environment).

Intinya jika guru tak mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi, maka mereka akan menjadi pemain cadangan di dunia pendidikan. Meminjam istilah di pertandingan sepakbola, selama pemain inti bisa main, mereka hanya duduk di pinggir lapangan. 

Dengan konsep aplikasi, setiap orang (komunitas) bisa menjadi guru. Seorang direktur bisa membuat konten berdasarkan pengalaman untuk mengisi aplikasi yang bisa ditonton ribuan siswa. 

Artinya peran "guru" tidak hanya dilakukan oleh guru yang berstatus resmi karena diangkat secara formal oleh negara (PNS) atau guru swasta (oleh yayasan). Siapa saja bisa menjadi guru. 

Dengan demikian, peran guru "resmi" di kelas/ sekolah akan tidak berguna jika melakukan tugas dengan gaya lama. Mereka harus berubah menjadi pengisi konten yang kreatif dan mengikuti zaman secara terus menerus.

Guru Pendidik

Guru salami anak (kompas.com)
Guru salami anak (kompas.com)
Fungsi guru sebagai pendidik, memiliki karakter berbeda dengan guru sebagai pengajar. Guru sebagai pendidik inilah yang tidak bisa digantikan mesin, setidaknya dalam waktu dekat ini. 

Manusia memiliki karakter yang benar-benar berbeda dengan robot. Sentuhan fisik seperti kelembutan kulit, tatap mata, senyum, dan aura manusia begitu khas bagi setiap individu. 

Bagi seorang anak tatapan guru bisa terasa sangat berwibawa. Tapi tak dipungkiri, kewibawaan guru tidak terasa dan menimbulkan efek negatif. Hal ini terlihat dari beberapa berita yang mengenaskan seperti penganiayaan siswa terhadap guru.

Inilah pentingnya fungsi guru sebagai pendidik. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy, sering menegaskan bahwa peran guru sebagai pendidik tak dapat digantikan oleh profesi lain maupun teknologi. Untuk mewujudkan guru sebagai pendidik profesional, pemerintah mengajak guru untuk terus mengembangkan kapasitas dan potensi diri. 

Yang unik dari pendidikan karakter adalah bahwa guru tidak cukup mengajarkan jenis-jenis karakter positif kepada siswa. Mungkin saja siswa dengan mudah menghafal Pancasila bagian dari karakter nasionalisme. 

Siswa hafal di luar kepala bacaan shalat sebagai bagian dari aspek religius. Siswa bisa menjelaskan dengan fasih arti gotong royong, definisi integritas, dan manfaat kemandirian. 

Tapi prakteknya bagaimana sehari-hari? Di sinilah guru harus menjadi model dari berbagai macam karakter positif tersebut. Pada sisi pendidikan karakter inilah, peran guru tak bisa tergantikan.

Sekian dulu dari saya Rihad Wiranto. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun