Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dilarang Buang Suara Sembarangan

17 Oktober 2019   16:26 Diperbarui: 17 Oktober 2019   18:21 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Peringatan itu terpampang di gerbang masuk Gang Sawah; Dilarang Buang Suara Sembarangan. Lucu juga, kan?  Selama ini, aku sering melihat peringatan senada, dari yang menggelikan hingga menyeramkan, seperti; Dilarang Ngebut Nanti Benjol, Buang Sampah di Sini Anak Anj**g, Buang Sampah Sembarangan Masuk Neraka. Dan ada juga peringatan yang melenceng dari kbbi; Buwang Sampah Anak S**an.

Kali ini beda sendiri, sehingga membuatku penasaran. Apakah warga di gang itu idealis setiap acara pemilihan? Artinya, tak boleh sesiapapun sembarangan memberikan suara karena faktor ekonomi alias serangan fajar yang tiba lebih dini dari panggilan Azan Shubuh.

Cerdas betul para warga. Mungkin yang tertanam di otak mereka hanya kata idealis. Padahal di kampungku, tiga bungkus mie instan bisa merubah pilihan. Apalagi dengan iming-iming uang ratusan ribu atau jutaaan. Pelakunya pasti bandar suara yang besar. Bisa mengumpulkan satu suara akan beroleh seratus ribu. Seratus suara menjadi sejuta. Seribu suara ganjarannya membengkak menjadi sepuluh juta. Itu uang apa cendol, ya? Encer benar!!!

Apakah tebakanku benar? Jawabannya, seratus persen salah. Aku mendapat informasi valid dari pak rt, sekaligus penghuni pertama Gang Sawah. Konon, di tempat itu dulunya ada kedai sampah. Sampah  di sini bukan sampah kotoran. Mungkin karena barang-barang yang dijual bermacam-macam, hingga mirip sampah berserakan. Lagi amis bau terasi, bau ikan basah, sampai ikan asin, beradu padu dengan jengkol, petai dan kabau.

Selepas shubuh, kedai sampah itu pasti akan dirubung emak-emak. Sementara para gadis ogah-ogahan, karena takut badan baunya selangit. Bisa saja bukan brondong yang menghampiri, melainkan kucing garong.

Aneh sekali, emak-emak itu bukannya mau belanja beragam barang di kedai. Tak jarang ada yang hanya mau beli satu sachet kecap asin untuk teman lauk telur mata sapi si bontot. Sudah itu lama pula pulangnya, sampai air mata dan ingus si bontot menjadi kecap karena sama-sama asin. Hii, membayangkannya saja aku geli. Tak usah pula kau bayangkan. Si bontot pun kenyang dan terbang ke tanah lapang. Lebih  parah lagi, kecap itu statusnya ngutang. Tampang memang keren seperti tas president, tapi isi kantong bak kantong kresek.

Suara emak-emak menggosip pun seperti dengung lebah. Apa saja bisa mereka gosipkan. Mulai dari iri melihat bu rt, berpostur buruk tapi bersuami ganteng lagi beruang. Suaminya memang sebesar beruang. Habis itu mengasihani pak rt kenapa beristri buruk rupa. Harusnya pintar memilih, mana emas, mana loyang.

Puas itu, menggosipkan si Anton yang kurang ajar. Kerjanya tiap hari hanya tidur-tiduran, istri dijadikan kuda beban. Dari pagi hingga senja banting tulang. Tengah malam juga harus banting tulang di atas kasur tipis. Dasar laki otak udang!

Itu tentang si Anton. Lain pula dengan si Ratmi. Kerjanya tiap hari bersolek terus, juga ongkang-ongkang. Sang suami banting tulang di dapur. Setelah itu banting tulang menarik becak, atau mengobjek pekerjaan lain. Tengah malam dia tidak mesti banting tulang di atas kasur tipis. Ratmi terobsesi pak rt yang tampan selangit. Beda dengan suami yang hanya tinggal tulang sama kulit.

Entah apalah jadinya. Di kedai sampah dari pagi hingga menjelang senja. Anak hanya makan nasi gosong berlauk garam. Para suami kelayapan mencari  makan di warung-warung. Beruntung kalau penjualnya bahenol dan cantik. Perut jadi cepat kenyang, hingga tak banyak uang terbuang.

Lama-lama suami dan anak menjadi kesal. Mereka berdemo ke rumah pak rt, agar kedai sampah itu ditutup saja. Mereka kesal karena para emak lebih suka membuang suara ketimbang mengurus keluarga. Maka demi kemaslahatan warga, pemilik berikut kedainya ditendang dari gang itu. Apakah suasana bisa aman damai?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun