Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kyai Kholil

3 Oktober 2019   12:40 Diperbarui: 3 Oktober 2019   13:08 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Kyai Kholil setiap Jum' at keluar pesantren. Dia berpindah dari masjid satu ke masjid lain untuk berkhutbah. Berganti-ganti santri dia bawa. Jum'at ini giliran Sobri. 

Sobri santri paling cerdas. Dia santri yang suka bertanya. Kyai Kholil terkadang kelabakan untuk menjawabnya. Apalagi pertanyaan Sobri sering aneh-aneh.

Setelah Shalat Jum'at di bilangan perkantoran kota Palembang, Kyai Kholil mengajak Sobri menikmati es kacang merah. Siang sebenar terik. Kabut asap masih setia turun bersama partikel-partikel. Lengkap sudah, panas terik dan kabut asap membuat Kyai Sobri ingin minum yang segar-segar.

"Eh, Mang Mat, es kacang merah dua. Jangan pedes, ya. Cabenya sedikit saja." Kyai memang senang bercanda. Mamat tertawa. Katanya, es tak memakai cabe. Dia hanya menambah kacang merah, masing-masing dua setengah potong. Semua pembeli  ikut tertawa.

Sedang asyik menikmati es kacang merah, Sobri tertunduk sambil mengurut kening. Mulai lagi nih si bocah dengan pertanyaannya. Kyai melihat kacang merah menjelma kertas pertanyaan.

"Kyai!" Sobri  ancang-ancang.

"Apa?"

"Saya bingung melihat orang kota, Kyai.  Masa' Kyai sedang khutbah, masih ada jamaah yang asyik ngobrol. Bahkan ada yang mainin hape. Kan kalau sedang khutbah, kita harus diam! Sebelum khutbah pun nazir masjid selalu mengingatkan. Eh, ternyata masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Kenapa tuh, Kyai?"

Bukannya menjawab, sang kyai malahan melihat jam tangan. Dia membayar es, lalu ngacir meninggalkan Sobri yang terpelongo. Dipikir nih bocah, kyai sedang marah. Sudah menjadi tabiat kyai, jika sedang marah, dia menjadi pendiam. Saat menyetir mobil, musik kasidahan kyai putar kencang-kencang. Sobri memilih diam, kecuali ada yang mau diomongkan.

Pada khutbah berikutnya, Sobri diajak lagi ke sebuah masjid. Si bocah bingung. Tak ingin dimarah, dia diam saja. 

"Bri, kalau kyai batuk-batuk saat khutbah, ambilkan minum, ya. Nanti tanya nazir masjid di mana ngambilnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun