Hampir seluruh daerah di nusantara memiliki tradisi khas, bahkan berkesan unik menjelang Ramadan. Kali ini, biar pun tampak sedikit pelit, saya hanya akan mengisahkan tradisi menjelang Ramadan di dua daerah.
Pertama, tradisi  jelang Ramadan di tempat tinggal saya sekarang, yakni di Palembang.
Di daerah ini, rasa bahagia menyambut Ramadan, dimanifestasikan dengan ziarah kubur. Â Ziarah kubur tujuannya, tentu ingin lebih dekat dengan pendahulu, terutama untuk memberikan mereka hadiah berupa doa-doa. Juga agar setiap umat bisa mengingat bahwa hidup tak akan selamanya. Yang ada pasti akan tiada. Yang bernyawa harus menyerah kepada cacing tanah pada waktunya.
Seminggu atau dua minggu menjelang Ramadan, hampir di seluruh lokasi pemakaman, lalu lintas macet. Ketimbang merutuk, masyarakat malahan bersyukur karena di pemakaman tidak hanya dipenuhi jejalan jamaah peziarah, sekaligus memuluskan alir rejeki. Pedagang bunga musiman memenuhi sekitar pemakaman. Ojol maupun ojek manual, mendapatkan banyak pelanggan. Penjaja makanan dadakan meramaikan suasana.
Apatah lagi tukang parkir, bisa tertawa renyah karena duit yang terkumpul bisa dijadikan santap mewah pada sahur pertama, dengan ragam daging, juga ikan-ikanan. Pokoknya semua bersemangat mengais rejeki. Perputaran ekonomi pun sekejap menggasing.
Di Palembang sendiri tradisi ziarah kubur menjelang Ramadan sangat digaungkan. Adalah Ziarah Kubro namanya yang selalu rutin dilakukan.  Bahkan sudah lama difasilitasi pemerintah  karena merupakan  aset wisata religi yang perlu dirawat dengan baik. Pesertanya bukan saja dari Sumatera Selatan, juga dari provinsi lain, pun dari mancanegara seperti Malaysia, Brunai, Yaman, Mekkah, Madinah dan negara lainnya.
Acara yang digelar selama tiga hari, mulai dari 26 sampai dengan 28 April 2019 ini dihadiri tak kurang 20 ribu peserta, yang menghabiskan anggaran Rp. 300 juta dari sumbangan masyarakat, ditambah bantuan pemerintah. Diharapkan tradisi ini tetap awet. Semoga ke depan semakin meriah.
Termasuk tradisi berikutnya, yang terus terang sangat bermanfaat untuk memperbaiki gizi umat, Seminggu atau dua minggu menjelang Ramadan, biasanya akan banyak undangan makan-makan atau ruwahan. Mungkin hanya setelah shalat shubuh saja tradisi ini tak dilaksanakan. Tapi setelah shalat zuhur hingga isya, terkadang para penanggap ruwahan seakan mengejar kesempatan untuk saling berbagi, meski bebermakanan seadanya.
Terkadang hal ini harus dapat disikapi dengan bijak. Artinya bila acara ruwahan berdekatan antara setelah shalat maghrib dan usai shalat isya, maka harus pintar-pintar mengatur perut. Misalnya, ruwahan di tempat si anu di perut bilik ini, ruwahan di tempat si ini di perut bilik situ.
Namun sekarang para penanggap ruwahan sudah lebih bijak menyikapi masalah waktu yang berdekatan. Jadi, makanan berat (nasi dan lauk pauk) tidak lagi difranchise-kan (bukan ibukota Paris), melainkan sudah dikotakkan. Mungkin agar setiap sedekah bisa tersampaikan, paling tidak ke keluarga jamaah yang diundang.