Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kampung Badai

2 Mei 2019   15:23 Diperbarui: 2 Mei 2019   16:00 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: unsplash.com

Kau lihat langit semakin menggelap? Kau rasakan angin dingin menerpa? Atap-atap rumah mengertap seperti suara sayap ratusan merpati. Badai pasti datang, katamu. Kita harus bergegas menutup pintu dan jendela. Kita harus meringkuk di bawah dipan seolah prajurit yang kalah perang.

Hari itu, badai pun datang menggila. Padi-padi yang mulai menguning, merunduk dan bergelombang. Rumah Pak Pattah berderak. Atap sengnya terbang. Pohon embacang yang berusia tiga puluhan tahun itu, berdebam ke tanah. Kabarnya, ada orang yang sekarat tertimpa kuda-kuda atap rumah. Ada seorang ibu yang melahirkan tiba-tiba saking takutnya. Syukurlah dia dan anak yang dilahirkan selamat.

Kini, sepuluh tahun setelah meninggalkan kampung badai itu, berdirilah aku di sebuah persimpangan. Di sebuah kota yang gemerlap dengan lampu-lampu ketika malam. Di sebuah kota yang transparan dengan etalase-etalase pakaian, juga laki-perempuan yang menjaja aurat.

Baca juga : Balada Seorang Pemabuk

Di sini tak ada badai. Itulah yang menyebabkanku merantau dari kampung kita ke kota ini. Di sini selalu hangat, meski sesekali turun gerimis yang payah. Aku bekerja di sebuah perusahaan dengan suasana nyaman, dan orang-orang yang ramah. Kendati kami hanya sering bertegur-sapa dengan senyuman. Bukan dengan kelakar seperti yang biasa kita lakukan di kedai kopi Marpaung.

Aku juga bukan lagi lelaki berambut gondrong. Pakainku bukan pula kemeja berkain kasar dan celana jeans belel yang hampir sekali seminggu dicuci. Lihatlah, rambutku disisir rapi, selalu didandani sebulan sekali di salon ternama, tentu saja oleh jari-jemari perempuan yang lentik berbulu mata lentik.

Bajuku rapi, bekas seterikaannya tajam. Sama saja dengan celanaku. Aku memakai dasi, dan tentu saja sesekali memakai jas. Ya, satu lagi, aku memiliki mobil, meskipun hanya kreditan. Sekarang, maka aku harus memutuskan berdiri di persimpangan ini, hanyalah untuk pulang ke kampung badai.

Aku rindu kepadamu. Aku ingin kau bisa melihat-lihat kesenangan di kota, dan memutuskan merantau seperti yang sudah kulakukan. Satu lagi, aku ingin kau mencari seorang pendamping untukku di kota ini. Aku memang pernah menikah, sekali. Tapi lantaran tak pandai memilih perempuan, kami bercerai dalam hitungan bulan.

"Kampung Badai," jerit seseorang. Kulihat bus penuh muatan dengan kaca jendela yang banyak retak, meluncur gegas. Bus ini hanya sekali seminggu singgah di kota ini. Makanya dia selalu penuh muatan. Kalau setiap hari si bus melintas, manalah pula ada penumpang. Siapa pula yang berniat berkunjung ke kampung badai, kecuali tentu saja orang-orang yang bertempat tinggal di sana. Orang-orang yang betah berdinding kecemasan setiap kali badai mengamuk.

Tak ada yang berubah ketika aku memasuki kampung ini, Teman. Masih dengan tetumbuhan yang banyak rebah bekas diterpa badai. Masih dengan rumah-rumah kumuh penuh tambalan. Tapi kulihat di setiap pintu atau jendela rumah, orang-orang menyapa dengan senyum ramah. Sesekali melambai ke arah bus, seolah yang ada di dalam bus adalah sanak-saudaranya. Entah kenapa pula aku melempar senyum kepada mereka, lalu melambai juga. Sama seperti laku seluruh penumpang bus. Kecuali tentu saja sang sopir, yang menyapa dengan bunyi klakson bersenandung.

Di perhentian inilah kulihat kau tertawa lebar. Rambutmu telah memutih. Tulang-tulangmu bertonjolan dari balutan kulit tipis. Tapi kau lumayan berotot. Matamu tetap cerah, berbinar-binar. Mata itu juga tertawa. Rangkulanmu yang membenam, pun kurasakan seperti yang sudah. Kau tahu, betapa lega menghirup bau badanmu; bau kampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun