Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duta

29 April 2019   12:46 Diperbarui: 29 April 2019   12:55 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Seperti burung yang terbang mencari makan dari pagi sampai siang, dan petang hari dia kembali ke sarang demi melepaskan kerinduan kepada anak-anaknya, maka aku berharap demikianlah yang terjadi kepada Bapak. Hampir lima tahun dia telah melanglang buana ke negeri-negeri jauh yang tak tertangkap otak kekanakku. Tak ada kabar berita, kecuali berita mulut yang dibawa orang dari seberang kemarin fajar kepada Emak, bahwa Bapak akan pulang. 

"Sejak kau berusia satu tahun, Bapak pergi merantau ke negeri yang jauh." Begitulah Emak pernah bercerita kepadaku. Saat itu usiaku masih lima tahun. Dalam bayanganku negeri jauh itu mungkin di balik awan. Atau jauh di ujung Sungai Musi. Atau bisa jadi di ujung jalan aspal yang melintas di depan rumahku.

Sebenarnya aku menunggu Bapak dengan perasaan yang campur-aduk. Sepihak aku gembira karena telah lama merindukannya. Sepihak lagi aku memendam rasa malu yang sangat. Bagaimana tidak. Terkabar dari teman-teman yang usianya hampir enam sampai tujuh tahun di atasku, Bapak bukanlah orang baik-baik. Bapak menjadi maling yang ditakuti di negeri orang. Hasil maling itulah kabarnya yang dibawa Bapak pulang berupa uang ratusan juta rupiah. Bahkan banyak orang berkata, entah mengada-ada, bahwa demi membawa uang yang banyak itu, Bapak terpaksa menyewa gerobak. Dikabarkan pula, kelak sesampai Bapak di kampung kami, akan diadakan hajatan penyambutannya.

Perasaan mengganjal di hati karena Bapak diceritakan teman-teman sebagai maling, pernah kutanyakan kepada Emak. Jawaban pertama darinya hanya pelototan. Kemudian dia menghembuskan napas yang berat. Selanjutnya barulah menjawab perlahan dan runut, "Bapak bukan maling, Nak. Dia duta. Dia mencari nafkah di negeri orang demi kita-kita juga. Lihatlah Bapak si Ito yang pergi  merantau sebagai duta ke negeri orang dua hari lalu. Bukankah sebelum dia berangkat diadakan dulu acara yang meriah! Yasinan dan dilanjutkan acara makan bersama." Aku teringat kenduri di rumah Ito. Acaranya sangat meriah. Aku sampai kekenyangan saat makan besar di acara kenduri itu.

"Berarti Bapak meminta-minta di negeri orang ya, Mak?" kejarku.

"Bukan meminta-minta. Tapi mengambil harta orang-orang kaya dan membagikannya ke kita di sini, juga orang-orang miskin lainnya."

"Tapi kata ustadz, maling itu tetap maling. Berdosa juga!" gerutuku.

"Husss!" Emak melotot.

Aku membisu. Di daerah kami di perkampungan Kayu Agung sekitar dua jam lebih perjalanan dengan mengendarai mobil umum dari kota Palembang, memang ada kebiasaan yang menjadi tradisi, tapi menurut pikiran kekanakku tak benar. Beberapa lelaki yang bertekad merantau ke negeri orang, sebab tak ada pencarian di daerah sendiri, memang bertujuan menjadi maling, atau lebih diperhalus dengan kata duta. Biasanya saat si duta akan berangkat, diadakan dulu acara yasinan, doa-doa dan diakhiri bersantap bersama. Itu diibaratkan bahwa si duta dilepas, dan dianggap mati di negeri orang. Kalau dia kembali dan membawa harta melimpah, itu adalah kemujuran dan kebaikan hati Allah SWT.

Ah, aku tersadar. Sudah hampir dua jam aku berdiri terus di ambang pintu. Gelap kiranya mulai merapat. Azan maghrib berkumandang. Emak sudah berulang-ulang mengintipi seluruh makanan di dapur. Semua sudah siap. Tikar telah pula digelar di ruang tamu. Para emak yang tadi sibuk bekerja, pun telah berangkat ke langgar. Bapak-bapak demikian adanya.  

"Sudahlah! Masuklah ke dalam, Hasanuddin. Nanti kau masuk angin. Bukankah kau ingin segar-bugar saat bertemu Bapak?" Emak menarik tanganku, dan merapatkan daun pintu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun