Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Selingkuh

9 April 2019   11:13 Diperbarui: 9 April 2019   11:32 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Ucapan Laura, putri kecilku, membuat telinga ini seperti tersayat. Terpaksa kuhentikan kesibukan memasak bolu kukus kesukaannya. Aku menyuruh Bik Nah melanjutkan, meskipun aku tahu pasti bolu kukus itu akan bantat. Bik Nah memang jago mengurus rumahtangga. Mengenai masak-memasak kue, dia nol besar. 

Oh, ya... maaf terlalu jauh membicarakan tentang bolu kukus dan pembantuku si Nah itu. Sekarang camkanlan ucapan putriku yang masih polos. Ucapan wajar seorang anak atas kasih sayang dan perhatian ayahnya. Katanya beberapa saat lalu, "Bu, kenapa ayah Laura tak seperti ayah teman-teman. Setiap libur sekolah, mereka biasa diajak ayahnya jalan-jalan. Atau paling tidak berkumpul di rumah sambil bermain monopoli. Sedangkan ayah, tak pernah memperhatikan Laura, selain sibuk di depan komputer setelah malam larut. Lalu, pagi-pagi, pergi sesudah memberi Laura uang jajan." Dia mendesah. "Laura tak butuh uang jajan. Tapi kehadiran ayah."

Setelah membersihkan tangan di wastafel, kemudian meminum segelas air dingin dari dalam lemari es, baru kudekati putriku yang tetap duduk di sofa ruang tamu dengan bibir berlipat. Aku teringat masa kecilku, persis seperti dia. Kalau marah, pastilah bibirku berlipat, sehingga pipiku yang berkulit tebal, semakin menonjol.

"Laura jangan berbicara begitu, Nak. Ayah cari uang buat kita. Kalau bersantai-santai terus di rumah, bagaimana dia membelikan makanan-makanan kesukaanmu? Bagaimana ayah menyekolahkanmu? Laura ingin menjadi seorang dokter anak, kan?"

Laura mengangguk lesu. Dia masih dengan ocehan semula. Dikatakannya ayah memang super sibuk. Padahal ayah hanya seorang manajer pemasaran di tempatnya bekerja. Sementara ayah teman-temannya, ada yang dokter, pejabat, bahkan wartawan, tetap meluangkan waktu bersama anak-anak mereka. Katanya, "Ayah memang tak menyayangi Laura."

Aku ingin menjelaskan lebih lanjut. Sayang, putriku kadung masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Selintas kuingat tingkah-laku Sam, suamiku, yang selalu gila kerja; workaholic.

Ya, dia memang begitu. Setiap hari yang diingatnya kerja... kerja.... Bahkan berulang-ulang dia pulang larut malam. Berkali-kali keluar kota, pulang ke rumah setelah dua atau tiga hari kemudian. Ketika aku mencoba mengklarifikasi, dia pasti mengucapkan alasan klise; ini demi hidup kita. Dia berprinsip, selagi muda jangan berleha-leha. Agar di masa tua nanti tak kesusahan. Anak-anak juga bisa tumbuh besar dan sejahtera.

Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5cab81a895760e0a930205b3/menanggapi-kampanye-02-di-gbk-jangan-sampai-senjata-makan-tuan

Aku mengamini alasannya itu. Hingga setiap kali dia disibukkan pekerjaan, aku tak mau menuntut banyak. Toh semuanya demi kebaikan bersama. Kalau dia menjadi suami yang pemalas, apa aku rela makan angin serta keluh-kesah setiap hari? Tidak, kan? Tapi setelah mendengar protes Laura, seketika hatiku terlecut. Aku baru merasakan betapa jauhnya jarak antara aku dan Sam. Meskipun tidur seranjang ketika malam benar-benar larut, aku selalu susah menjangkau hatinya. Dia sangat sangat asing. Dia hanya bertanya ini-itu dengan singkat sebelum masuk ke kamar. Kemudian segera membatu di depan komputer, atau menonton sebentar berita bisnis di televisi. Selebihnya dia akan mendengkur. Tidur memunggungiku.

Aku juga baru menyadari bahwa terkadang hampir sebulan dia tak menyentuh tubuhku. Padahal, sebagai istri yang hanya mengurusi persoalan rumahtangga, aku menuntut sesuatu yang lebih untuk pemuas batin. Terkadang untuk memikatnya, sengaja aku mandi bersih-bersih dan bersolek sebelum berangkat ke peraduan. Kalaupun dia menyentuhku dengan sangat singkat, itu pun setelah dia ogah-ogahan memutar film blue. Mungkin karena sikapnya itu, akhirnya aku terbiasa. Aku menjadi tak ingat kapan diri ini dibelai, kapan tidak. Wajar saja, seorang anak seperti Laura mengatakan Sam tak memiliki kasih sayang. 

Ah, mengapa aku sampai alpa pada tingkahlakunya. Mengapa jiwa ini tak curiga tentang sepak terjangnya di luar sana? Dia terlalu sibuk dengan tugas bertimpa-timpa. Apakah benar semuanya? Mungkin saja dia ada selingkuhan di luar. Kalau tidak, kenapa sampai hampir sebulan dia tahan tak menyentuhku? Padahal setahuku, lelaki tak tahan berlama-lama bila dikaitkan dengan persoalan seks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun