Mohon tunggu...
Mirna Aulia
Mirna Aulia Mohon Tunggu... profesional -

Hanya seorang musafir. Generasi anak SD era 80-an. BUKAN pengguna Facebook. BUKAN pengguna Twitter. BUKAN pengguna Linkedin. BUKAN pengguna Path. BUKAN pengguna Instagram. Hanya memiliki empat akun Sosmed: kompasiana.com/raniazahra, mirnaaulia.com, Indonesiana (Mirna Aulia), dan CNN iReport (Mirna Aulia) . Banyak orang memiliki nama yang sama dengan nama musafir (baik di media-media sosial maupun di search engine). Sehingga, selain keempat akun di atas, kalau pembaca menjumpai nama-nama yang sama, itu BUKAN AKUN musafir. Untuk hasil pencarian melalui search engine: musafir BUKAN berlatar belakang dan TIDAK berkecimpung di bidang Kedokteran Gigi, Farmasi, Psikologi, Biologi, MIPA, Kepartaian, Kehutanan, Lembaga-lembaga Kehutanan, maupun Pertanian. Selamat membaca dan semoga artikel yang musafir tulis dapat bermanfaat bagi para pembaca semua. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mister Londo Itu Menilai Indonesia Unik

24 September 2013   06:36 Diperbarui: 31 Agustus 2015   14:17 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Termenung pada senja hari di tengah suhu udara yang sangat dingin membuat saya teringat peristiwa unik beberapa tahun yang lalu ketika saya berada di ibukota negeri tercinta, Jakarta. Maka, mengalirlah tulisan tentang kisah itu.

 

Suatu siang, saya menjemput seorang teman yang baru datang dari New York. Ini adalah kunjungan pertamanya ke Indonesia. Namun, sesungguhnya Indonesia tidak terlalu asing di telinganya. Karena di negara asalnya teman saya itu sering mendengar cerita tentang Indonesia dari sesama teman Amerikanya yang pernah berkunjung ke Indonesia, juga dari rekan kerjanya yang orang Indonesia. Dan tak urung saya juga telah mewanti-wantinya perihal Indonesia jauh hari sebelum keberangkatannya ke negeri ini.

 

Begitu mobil yang kami tumpangi keluar dari tol Bandara Soukarno-Hatta, kemacetan parah terjadi di berbagai ruas jalan utama. Teman saya begitu kaget melihat situasi jalan-jalan di Jakarta yang penuh sesak oleh kendaraan dan sangat meriah oleh suara klakson yang saling bersahutan.

 

Ia terlihat sangat terkejut. Dalam bayangannya, stereotip negara berkembangyang bahkan pada satu dekade terakhir pasca orde baru pernah menjelma menjadi salah satu ikon negara miskin adalah jalanan yang kecil, sepi dan lengang dari lalu lalang kendaraan, ditambah dengan bangunan-bangunan sederhana, serta hamparan pemandangan alam hijau seperti yang selalu ia dengar dan baca di buku-bukunya, bahwa negeri ini adalah zamrud khatulistiwa.

 

Namun realitanya adalah, kemacetan parah karena terlalu padatnya kendaraan pengguna jalan. Gedung-gedung pencakar langit modern yang tak kalah indah dengan New York, kota asal teman saya itu. Ia bahkan lebih kaget lagi ketika mobil yang membawa kami telah melintasi seputaran SCBD (Sudirman Central Bussines Distric), banyak mobil-mobil sekelas Jaguar, Ford, Audi, BMW, dan Marecedes Benz yang di Amerika pun juga termasuk golongan  kendaraan kelas menegah atas, berseliweran meramaikan jalanan Jakarta.

 

Katanya rakyat Indonesia itu miskin, tapi mengapa banyak yang mampu membeli mobil-mobil mewah semacam ini? Itu pertanyaannya yang pertama. Mengapa di negara yang katanya tergolong miskin ini, kegiatan bisnis sangat marak dan menempati gedung-gedung pencakar langit dengan arsitektur yang mewah? Mengapa banyak sekali mall-mall mewah dengan banner iklan dari produk-produk branded asal Eropa dan Amerika bertebaran? Apakah ada yang mampu  membelinya?

 

Saya jawab, bahwa Negara Indonesia ini memang negara berkembang dengan angka kemiskinan yang menurut WHO mencapai 100 juta jiwa, namun sebagian rakyat Indonesia tidak miskin. Mereka mampu membeli kemewahan yang mereka inginkan. Apakah itu apartemen, rumah, apalagi hanya sekedar mobil. Masyarakat di sini juga giat sekali berbisnis. Sektor perkantoran dan investasi sangat pesat perkembangannya. Masyarakat di sini juga gemar membeli barang-barang branded. Mereka tidak segan-segan untuk memborongnya, bahkan bila perlu akan berburu sampai ke luar negeri untuk mendapatkannya. Mendengar penjelasan saya yang masih belum sempurna itu, ia tambah geleng-geleng kepala. Mungkin ia bingung sekali dengan fenomena yang tak lazim ini. Semakin kami menjelajahi Kota Jakarta, maka teman saya itu semakin bertambah bingung dan tidak mengerti.

 

Suatu sore di Stasiun Gambir. Sore itu kami sedang menanti kereta api  eksekutif Gajayana yang akan membawa kami ke Malang. Teman saya itu begitu takjub, sampai-sampai langsung mengeluarkan handycamnya. Apa yang disaksikannya adalah serangkaian gerbong kereta api ekonomi jurusan Jakarta - Bogor  yang sedang lewat membawa penumpang yang pulang dari tempat kerjanya. Suasana kereta itu sangat padat. Penumpang berjejalan sampai setengah tumpah,  bergelantungan di ambang pintu kereta api yang terus terbuka. Bahkan, orang – orang yang tidak kebagian tempat di dalam kereta, menyemut duduk di atas atap kereta (Untungnya saat ini kejadian seperti itu sudah jauh berkurang karena petugas stasiun telah berinisiatif  menindak para penghuni atap kereta itu dengan semprotan zat pewarna makanan. Bahkan menurut berita terakhir yang saya baca, di setiap stasiun Jabodetabek sudah mulai diberlakukan sistem tiket elektronik).

 

“Wow, yang seperti ini tidak pernah saya saksikan di Amerika. Ini benar-benar unik!”. Komentarnya tentang realitas perkeretaapian di Indonesia itu membuat saya tersentak. Apa iya ya Indonesia ini unik? Rasanya saya tidak menemukan keunikannya. Saya hanya menemukan realita tentang membahayakan nyawa manusia. Mungkin teman saya itu melihat kondisi tersebut dari sudut pandang ketakjuban. Entahlah.

 

Beberapa menit berikutnya, raut wajah teman saya itu menjadi tegang dan cemas, berkali-kali ia melirik arlojinya. Apa pasal? Kereta yang seharusnya membawa kami ke Malang seharusnya berangkat pukul 17.10 WIB (Jadwal pada saat itu). Jam waktu itu sudah menunjukkan pukul 17.15, sementara kereta belum juga menampakkan batang lokomotifnya. Teman saya itu celingak-celinguk ke sana kemari, mungkin mencari-cari penumpang yang juga sama paniknya dengan dirinya. Tetapi ia tidak menemukan seorang penumpang pun yang terlihat bingung dan panik, termasuk saya. Kerumunan penumpang yang menyemut di peron jalur 1 masih asyik berbincang-bincang dan bercanda ria. Berkali-kali ia menengok arlojinya, kemudian melihat jam gantung stasiun. Ia pun mengeluarkan secarik tiketnya, dan mengamati jam keberangkatan kereta yang tertera dalam lembaran tiket itu.

 

“Tenang saja, nanti keretanya juga akan muncul sendiri.”, kata saya pada akhirnya. Sejujurnya saya sendiri pun bingung bagaimana harus menjelaskan fenomena aneh ini. Tidak enak rasanya apabila saya mengatakan bahwa jadwal kereta yang tidak tepat waktu sudah menjadi kebiasaan di negeri tercinta.  Jangankan kereta, pesawat saja bisa terlambat berangkat hingga lebih dari satu jam, atau bahkan jika sedang apes bisa delay tanpa alasan. Apalagi ini kereta api. Masih untung kalau terlambatnya hanya setengah jam sampai satu jam, kalau sedang apes bisa juga sampai berjam-jam. Jika saya mengatakan sejujurnya seperti itu, berarti saya membuka aib bangsa saya sendiri. Saya mengghibah bangsa saya sendiri. Ah, biarlah teman saya itu mengetahui dengan sendirinya. Lama-kelamaan ia pasti akan mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini, pikir saya saat itu. Akhirnya saya putuskan untuk hanya mengatakan, “Anda akan menjadi orang yang sangat sabar dan sangat toleran jika Anda sudah lama tinggal dan mengikuti ritme hidup orang Indonesia.”, dan setelah itu saya mengunci bibir saya rapat-rapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun