Mohon tunggu...
Rahmat Thayib
Rahmat Thayib Mohon Tunggu... Penulis - Sekadar bersikap, berharap tuna silap.

Sekadar bersikap, berharap tuna silap. Kumpulan tulisan saya: http://rahmathayib.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

SBY dan 5 Jawaban untuk Tudingan Makar

22 November 2016   16:34 Diperbarui: 23 November 2016   01:48 17552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah Presiden Jokowi membuat kehebohan perihal keberadaan aktor politik yang menunggangi demonstrasi 4 November tanpa menyebut siapa orangnya, kini giliran Kapolri Tito Karnavian yang membuat kegemparan. Kapolri menyebut ada upaya makar pada aksi 25 November mendatang. “Kalau itu bermaksud untuk menjatuhkan atau menggulingkan pemerintah, termasuk pasal makar,” ujar Tito. lihat Kapolri Sebut Ada Upaya Makar pada Aksi 25 November 

Bagi pemerintah, makar atau galib disebut kudeta memang perbuatan terkeji. Makar artinya membuat eksekutif impoten melaksanakan fungsi dan tugasnya, termasuk menjungkal pemerintah secara tidak konstitusional. Sehingga, cap makar amat ditakuti seorang negarawan. Ketika cap makar distempel, dan ambrol menjadi kepercayaan di sanubari rakyat, sekonyong-konyong mengoyak-moyak ketulusan pengabdian seorang negarawan. Bagi seorang negarawan, vonis makar bukan tamparan besar, melainkan belati yang menembus dari dada hingga ke punggung. Suatu penghinaan teramat sangat.

Sebelum Fahri Hamzah, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah satu sosok yang dituding hendak berbuat makar. Tampak jelas suatu skenario di media sosial yang mengiring opini publik terhadap SBY, dari aktor dibalik aksi unjukrasa umat Islam 4 November silam, sampai bermaksud berbuat makar. Skenario ini, apalagi dikenakan kepada mantan presiden, jelas suatu fitnah yang keji. Bukan hanya SBY, seluruh mantan presiden, saya amat yakin, pasti akan mengeledek jika dituding hendak berbuat makar.

Karena makar bertentangan dengan negarawan; seseorang yang memproduksi nilai-nilai kebajikan semata-mata untuk kepentingan negara. Keduanya saling meniadakan. Seorang negawaran mustahil bertindak makar; dan sebaliknya makar tidak akan menyeruak dari pikiran negarawan sejati.

Jika saya berada pada posisi SBY, maka saya akan mengatakan 5 alasan ini untuk menjawab tudingan makar itu: 

Pertama, paska reformasi, hampir mustahil seorang mantan presiden bermaksud makar terhadap presiden yang berkuasa. Transisi kekuasaan yang tidak mengenakan dari Habibie ke Gus Dur; dan selanjutnya dari Gus Dur ke Megawati, tidak menerbitkan aksi makar. Bahkan, sejak Pemilu 2004, makar kepada presiden artinya melawan rakyat.


Sebagaimana kita ketahui, SBY adalah produk dari pemilu langsung presiden dan wakil presiden pertama di Indonesia. Sebagai seorang pemimpin yang lahir dari proses demokrasi, SBY tentu berkewajiban memelihara ‘ibu’ yang melahirkannya, serta mendidik ‘anak-anak’ demokrasi lainnya untuk meneruskan proses berharga tersebut. Fakta dan nilai ini, tak pelak membuat SBY senantiasa tunduk, patuh dan akan merawat sistem transisi kekuasaan yang konstitusional.

Kedua, demokrasi Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari cetak tangan presiden-presiden sebelumnya. Proses demokratisasi dimulai dari era Habibie, lanjut ke Gus Dur, Megawati, SBY dan akhirnya Jokowi. Pelbagai tindakan telah dilakukan: wewenang lembaga kenegaraan dikaji ulang, periodesasi presiden dibatasi, istilah pribumi-non pribumi dilucuti, sampai sentralisasi kekuasaan di Jakarta diakhiri. Sehingga, aksi makar tidak ubahnya suatu penistaan proses demokrasi yang telah dibangun oleh presiden-presiden sebelumnya.

Ketiga, SBY mustahil memporak-porandakan rumah demokrasi yang susah-payah dibangunnya. Bara K. Hasibuan, dalam artikel Indonesia Sebuah Functioning Democracy, menyebut kontribusi terbesar dari pemerintah Yudhoyono adalah mewujudkan peningkatan kualitas dari demokrasi sehingga bukan hanya terbatas pada level prosedural.

Tidak dapat dipungkiri, semasa pemerintahan SBY, proses demokratisasi menderas. Dalam pelbagai diskusi, SBY kerap disebut sebagai presiden berlatar militer tetapi amat paham pikiran orang sipil. SBY mengawal betul-betul proses demokratisasi. Kebebasan berpendapat kian diberi ruang. Media massa sebagai pilar demokrasi keempat dibebaskan bergerak; dalam banyak kasus bahkan terkesan lebih bebas ketimbang pers di negeri Paman Sam.

Sehingga wajar, jika survei SMRC yang dihelat pada akhir September 2013, menemukan kecenderungan rakyat untuk mengindentikan masa pemerintahan SBY sebagai era demokrasi. Lihat : Survei SMRC: Masa Soeharto = Diktator, Era SBY = Demokrasi  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun